Page 106 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 106

Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
               asing lainnya dan menerima monopoli VOC atas perdagangan.  Perjan-
               jian Bongaya hanya sebatas pada pengakuan kerajaan-kerajaan Sulawesi
               atas perdagangan. Penaklukan pada ruang politik dan pemerintahan dila-
               kukan dengan ekpedisi militer pada 1905-1910 dan diakhiri dengan penan-
               datanganan korte verklaring oleh raja dan kepala pribumi.

                   Sebelum penaklukan secara militer oleh Belanda pada 1905, pemerin-
               tah-an dan penguasaan tanah berada ditangan pada bangsawan. Tanah
               adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran para bangsawan Sulawesi
               Selatan. Tanah yang tidak dibudidayakan mempunyai sifat komunal kese-
               mua anggota masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan sebagai
               tempat pengembalaan, mencari kayu maupun hasil hutan lainnya asalkan
               dipergunakan sendiri. Jadi, bukan untuk diperjual-belikan, hutan juga
               dipergunakan untuk berburu binatang liar. Sementara itu, lapisan diba-
               wah bangsawan adalah orang merdeka atau bebas, itu jumlahnya paling
               besar di masyarakat Makassar. Terakhir adalah kelas budak atau ata.
               Pekerjaan tenaga kerja kasar atau buruh diselenggarakan oleh ata, sebagai
               bagian kerja wajib kepada bangsawan, tidak diberikan upah. Orang-orang
               Makassar memiliki budak agar bebas dari pekerjaan mereka sendiri. Ata
               adalah ekspresi keterhubungan daripada definisi status atau kelas.
               Budak-budak itu sebagai pelayan raja. Kerja wajib itu dijalankan untuk
               membangun tembok-tembok kerajaan, membangun jembatan sungai.
               Sepanjang abad 17, pekerjaan itu mengerahkan buruh-buruh dan tukang-
               tukang (Reid 2000: 435).

                   Kemudian, relasi sosial yang berkembang di Sulawesi Selatan sebe-
               lum penaklukan oleh kolonial Belanda adalah luasnya bagi hasil di ruang
               agraria. Relasi bagi hasil berlangsung di tanah-tanah milik Karaeng atau
               Aru. Tanah-tanah itu sebagai tanda kebesaran atau “hiasan” dari para
               bangsawan Karaeng. Pengolahan tanah itu dilakukan oleh para petani
               setempat dengan memberikan 1/3 bagian hasil kepada kas adat. Kemu-
               dian diserahkan kepada karaeng. Pada awalnya tanah-tanah kebesaran
               para Karaeng itu  dibuka atau dicetak dengan kerja rodi dan setelah itu
               dikerjakan dengan bagi hasil. Luasnya relasi bagi hasil di Sulawesi Sela-
               tan, terutama di Maros dan Pangkajene memperlihatkan bahwa peng-
               hasil atau pengolah sawah banyak yang tidak mempunyai sawah

                                                                         97
   101   102   103   104   105   106   107   108   109   110   111