Page 111 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 111

Hilmar Farid, dkk.
            bentuk pemungutan pajak. Pemerintah kolonial melalui kepala adat dan
            kepala desa melakukan penarikan ekstra ekonomi daripada mendorong
            produksi yang kompetitif. Negara kolonial masih berpendapat bahwa
            pasar kompetitif nasional belum terbentuk, maka ekstra ekonomi seperti
            penarikan pajak masih diperlukan. Jumlah penarikan pajak cukup tinggi,
            untuk daerah Maros saja mencapai 70.000 gulden per tahunnya (Poeling-
            gamong 2004: 120). Sementara itu, pemerintah kolonial melakukan
            “perbaikan” irigasi-irigasi non teknis agar produksi beras meningkat. Kata
            perbaikan di sini bukan hanya bermakna lebih baik, tetapi lebih mengun-
            tungkan. Ini dapat terlihat daerah-daerah dataran rendah Sulawesi
            Selatan yang mendapatkan irigasi non teknis bisa menghasilkan 70.000
            hingga 80.000 ton beras per tahun (Harvey 1989: 56). Produksi beras
            Sulawesi tidak diekpor keluar Hindia Belanda. Ekspor beras antar pulau
            berada pada perusahaan yang dimiliki orang-orang Cina. Juga, setelah
            penaklukan kolonial kerja paksa untuk kerajaan diambil alih oleh kolo-
            nial dengan digantikan pembayaran uang. Pada masa depresi ekonomi
            ada penurunan tajam dari 1930 hingga 1935 dalam jumlah orang mem-
            bayar uang tebusan untuk mengganti kewajiban memenuhi kerja wajib
            berdasarkan undang-undang (herendiesnsten), sekalipun ada kenaikan
            sedikit dalam jumlah hari yang diharuskan bekerja. (Harvey 1989: 57).
            Juga, seluruh Sulawesi mengalami kemerosotan ekspor, sekalipun men-
            jelang tahun 1940 terjadi pemulihan yang berarti didaerah-daerah Hindia
            Belanda lainnya. Nilai ekspor dari Sulawesi terus merosot.

                Komoditi ekspor mengalami perubahan. Sebelum penaklukan
            Belanda adalah tanaman kopi yang diekspor melalui pelabuhan Makas-
            sar. Pada 1891 komoditi ini digantikan oleh kopra. Pada 1888-1907, kopal
            (sejenis damar) dan rotan diekspor dalam jumlah besar. Kopra terus men-
            jadi komoditas ekspor menonjol. Pada 1920 dari kopra dihasilkan 50 persen
            dari nilai ekspor Sulawesi Selatan, dan kalau minyak kelapa dimasukkan
            bisa mencapai 70 persen. Pada 1939, minyak kelapa tidak di ekspor hanya
            kopra, dan kopra mencapai 57 persen dari nilai keseluruhan (Asba 2007:
            72). Minyak kelapa tidak diekspor karena konsumsi bagi pasar penduduk
            Sulawesi untuk memasak kebutuhan pokok. Kopi masih terus diekspor,
            meskipun tidak sebanyak sebelumnya. Perdagangan ekspor dikuasai oleh

            102
   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116