Page 116 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 116
Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
Pada 1992, awal dari pemagaran tanah dilakukan, sekitar 50 bidang tanah
telah berpindah kepemilikkan. Kemudian, pada 2006 hampir sempurna
proses jual-beli tanah dari petani-petani kecil dan sedang oleh petani-
petani kaya. Tahun 2009 akumulasi tanah terus berlanjut berduyun-du-
yun orang memagari tanah yang diperoleh di perbatasan. Orang-orang
yang tidak mempunyai tanah bekerja sebagai buruh upahan di tanah
yang telah mereka jual. Proses transformasi pemilikan tanah dan pena-
naman dari sistem peladangan ke penanaman tanaman kokoa untuk
pasar dunia berlangsung secara sempurna selama 20 tahun di dataran
tinggi Sulawesi (Li 2010).
Masyarakat Lauje dalam kehidupan pra-kolonial menanam temba-
kau dan diselingi dengan padi ladang serta jagung. Pada saat panen tem-
bakau mereka turun ke pesisir untuk menjual atau barter dengan garam
dan pakaian. Mereka takut dengan perampok-perampok budak berasal
dari Gorontalo. (Bigalke 1983: 329). Masa pra-kolonial hingga kolonial di
Sulawesi perdagangan budak begitu meluas, terutama di kalangan elit
masyarakat setempat untuk pengurus kebun mereka dan memperoleh
hasil hutan. Juga, perjudian di tempat-tempat pasar adalah faktor penting
dalam perbudakan abad 19 di Toraja. Lintah darah Bugis mengharuskan
orang-orang Toraja untuk mengembalikan hutang-hutang mereka
dengan produk-produk hutan (Bigalke 1983: 350). Sementara itu, petani-
petani Lauje melakukan aktifitas agrarian dengan bertani perladangan,
mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain baik di tengah
pegunungan maupun pedalaman pegunungan. Mereka menanam kebu-
tuhan pokok seperti beras dan jagung. Tanah dataran tinggi tempat peng-
hidupan orang-orang Lauje tidak begitu subur, namun menghasilkan.
Mereka menanam berkelompok dengan alat-alat sederhana. Juga, masya-
rakat Lauje tidak dirambah oleh missi agama Kristen, sedikit atau tidak
ada orang-orang pesisir yang mendaki ke atas pegunungan. Elit bangsa-
wan Lauje turun ke bawah dan menetap di pesisir, mereka mengubah
agamannya menjadi Islam setelah bergaul dengan pedagang-pedagang
dari Gorontalo dan Mandar. Elit bangsawan pindah dan menetap di
pesisir dalam rangka untuk perantara tembakau produk orang-orang
pegunungan dengan pedagang-pedagang dari Gorontalo. Menurut
107