Page 115 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 115

Hilmar Farid, dkk.
            mempunyai pengalaman di dalam ruang dan waktu yang khusus. Kedua
            masyarakat dataran tinggi itu berproses dan berkaitan dengan pasar
            kapitalisme. Pengalaman mereka bersentuhan dan bergantungan dengan
            kapitalisme yang akan diuraikan di bawah ini.

                Dewasa ini masyarakat dataran tinggi Lauje telah terjadi transfor-
            masi, baik penggunaan tanah telah dikonsentrasikan untuk tanaman
            ekpor maupun berlangsung pemisahan kelas antara kelas pemilik tanah
            dan kelas tidak memiliki tanah. Sejak tahun 1996, orang-orang dataran
            tinggi Lauje sepakat untuk menanam kokoa agar kehidupan mereka
            dapat berubah dan menghilangkan stigma yang diberikan orang-orang
            pesisir bahwa orang Lauje terbelakang dan malas (Li 2010). Juga, dengan
            menanam kokoa petani-petani Lauje dapat membeli beras, ikan dan kopi
            seperti konsumsi makana orang pesisir. Penanaman kokoa itu meng-
            gantikan tradisi penanaman peladangan beras dan jagung yang telah
            mereka praktekkan secara bergenerasi. Namun, pada 2006 tanaman
            kokoa mereka terkena penyakit, karena pertumbuhan tanaman kokoa
            membutukan bermacam pestisida dan ini berarti biaya produksi yang
            lebih mahal daripada tanaman makanan. Jadi, terdapat ketergantungan
            baru terhadap pasar untuk memenuhi keperluan pestisida dan obat-obat
            lain untuk pertumbuhan kokoa. Bagi petani-petani sedang dan kecil biaya
            pestisida dan pertumbuhan kokoa lainnya sulit untuk dipenuhi. Selain
            itu, pada 2006 pula harga kokoa merosot dan sebaliknya harga beras
            melambung, kondisi itu membuat petani-petani terpikat dengan uang
            tunai yang ditawarkan oleh petani kaya yang berhasil dalam penanaman
            kokoa. Orang-orang kaya dataran tinggi berlomba memperluas kebun
            kokoa dan cengkeh dengan cara membeli tanah petani-petani miskin.


            Sulit untuk bisa berhubungan dengan mereka. Sementara itu, kepala-kepala desa yang
            tidak perduli  dengan orang-orang Lauje, dan rakus akan bantuan dari pemerintah.
            Masyarakat Lauje sendiri tidak perduli dengan pendatang dan orang-orang luar yang
            tidak memahami identitas kolektif orang-orang Lauje. Menurut Tania Li seharusnya
            ikatan identitas kolektif tidak lagi dibatasi oleh adat, tetapi harus lebih luas melalui artikulasi
            kelas. Ini membuat perjuangan orang-orang yang dipinggirkan menjadi lebih lebar
            dukungannya. Untu hal ini lihat. Tania Murray Li. Articulating Indigenous in Indonesia:
            Resources politics and tribal slot. Dalam, Comparative Studies in Society and History,
            Vol. 42, N0. 1. (Jan., 2000), hlm., 149-179.
            106
   110   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120