Page 112 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 112

Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
               perusahaan-perusahaan Belanda, Cina dan Jepang, sedangkan saudagar
               Bugis dan Makasar mengisi peran sebagai perantara dalam menumpuk
               produksi agraria dan mengirimkanya ke pelabuhan Makasar. Pemerintah
               kolonial melaporkan bahwa pada 1924 terdapat 123 pedagang besar kopra
               di kabupaten Bonthian. Makasar adalah pelabuhan utama untuk pengi-
               riman barang-barang ekspor, hampir 90 persen pajak ekspor karesidenan
               Sulawesi Selatan dipungut dipelabuhan Makasar (Indische Verslag: 1937).

                   Sementara itu, penguasaan dan pemilikan tanah dipertahankan
               secara komunal, akan tetapi juga berlangsung persewaan tanah. Pada
               1906, terdapat laporan mengenai pihak yang terlibat dalam agraria sekitar
               67,9 persen adalah pemilik tanah; 18, 2 persen adalah penyewa tanah;
               dan 13,9 persen buruh tani.(Harvey 1989: 58). Di antara orang-orang yang
               memiliki tanah, luas pemilikan tanahnya adalah satu hektar kombinasi
               antara tanah sawah dan tegalan. Relatif hanya sedikit tanah yang dise-
               wakan atau diberikan sebagai konsesi bagi tanaman perkebunan. Juga,
               terjadi kemerosotan dalam penyediaan tanah konsesi bagi perkebunan
               dari 31.708 hektar pada 1930 menjadi 28.325 hektar tahun 1940, karena
               tanah diperuntukkan bagi tanaman kopra yang penguasaan tanahnya
                                            3
               ditangan orang-orang bumiputera  (Lerissa 2002: 320).
                   Kekuasaan kolonial Belanda melakukan “perbaikan” produktifitas
               agraria melalui pengurangan kekuasaan politik pada raja. Raja yang me-
               miliki tanda-tanda kebesaran dalam bentuk tanah dikurangi oleh Belanda
               dan diganti oleh uang gaji. Penetapan gaji didasarkan atas perhitungan
               produktifitas tanah dan tanah yang dikuasai raja dimasukkan kedalam
               perbendaharaan pemerintah-an daerah. Menurut Edward Poellinggo-
               mang hak penguasaan tanah raja-raja Sulawesi Selatan setelah penak-
               lukkan Belanda membuat konsentrasi dan akumulasi tanah meningkat.
               Misalnya di Bone, hak-hak tanah atas tanda-tanda kebesaran asli (galung



                   3  Penyewaan tanah secara luas untuk perkebunan kopra dilarang oleh pemerintah
               kolonial tahun 1920an setelah banyak petani kehilangan tanahnya karena tidak dapat
               mengembalikan hutang dalam bentuk hasil panen kopra kepada rumah-rumah dagang.
               Namun, demikan pengambil-alihan tanah perkebunan itu tetap berjalan karena penyewaan
               pohon tidak dilarang.
                                                                        103
   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117