Page 107 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 107

Hilmar Farid, dkk.
            (Scheltema 1985: 77). Banyaknya produsen agraria yang tidak memiliki
            sawah, belum membuat mereka sepenuhnya menjadi proletar dan masih
                                    2
            bertahan hidup di pedesaan.  Jika terdapat banyak sawah yang tersedia
            dipergunakan untuk bagi hasil, maka terjadi kelas pemilik tanah atau
            terdapat kelas pemilik sawah yang menggadaikan dan kemudian meng-
            garap kembali miliknya dengan bagi hasil. Sebaliknya, terdapat kelompok
            pemilik tanah atau kelompok penagih hutang yang tidak menggarap
            sawahnya sendiri. Pada umumnya bagi hasil berkenaan dengan pena-
            naman padi sawah. Akan tetapi dilaporkan pula bagi hasil di Bonthain
            berkaitan dengan penanaman Jagung. Juga, di Pangkajene dan Maros
            bagi hasil dengan menanam tembakau dan kopi.
                Persyaratan bagi hasil biasanya bergantung pada alat kerja yang ter-
            sedia, terutama menggunakan kerbau untuk membajak. Jika, penggarap
            menggunakan kerbau sendiri, maka ia menyediakan 1/3 dari hasil panen.
            Akan tetapi, jika dia mempergunakan kerbau pemilik tanah, maka
            produsen mesti memberikan ke pemilik tanah 2/3 dari hasil panen. Di
            Maros, jika tanahnya baik dan subur, pemilik dan penggarap masing-
            masing menerima separuh dari hasil panen, setelah dikurangi ¼ dari
            upah menuai; jika tanah kurang subur, perbandingan-nya menjadi 1/3
            bagi pemilik dan 2/3 untuk menggarap. Biaya untuk padi benih senan-
            tiasa ditanggung oleh penggarap (Scheltema 1985: 78). Nampak, bagi hasil
            antara penghasil (petani) dengan pemilik tanah (karaeng) terjadi pertu-
            karan yang tidak setara. Pemilik tanah dan ditambah kalau memiliki alat
            penggarapan tanah seperti kerbau dan bajak memperoleh bagian yang
            lebih banyak. Sementara itu, petani yang hanya mempunyai tenaga kerja
            mendapat bagian yang lebih sedikit. Pembagian bagi hasil yang tidak
            setara itu berlangsung di wilayah agraria manapun (Benrstein 1994: 57).


                2 Ellen Meiksin Wood menegaskan bahwa pertumbuhan kapitalisme baik di indus-
            try urban maupun agraria mempunyai relasi yang spesifik dan transformasinya tidaklah
            tunggal. Kapitalisme adalah relasi antara produsen dan pemilik, pengambil-alihan sur-
            plus tenaga kerja secara legal dan melalui pasar.  Selain itu, perkembangan kapitalisme
            agraria tidak selalu membuat produsen melalui proses proletarianisasi yang hanya menjual
            tenaga kerja. Tetapi terjadi pengambil-alihan surplus nilai tenaga kerja yang mengun-
            tungkan bagi pemilik. Ellen Meiksin Wood. The Origin of Capitalism (New York:
            Monthly Review Press, 1999), hlm., 70.
            98
   102   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112