Page 165 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 165

Hilmar Farid, dkk.
            berpusat pada tiga “soko-guru” analitik. Pertama, bahwa kemiskinan,
            kerusakan alam, dan ketertindasan sesungguhnya adalah tampilan saling
            menguatkan satu sama lainnya. Ketiganya merupakan teman seiring
            sejalan. Kedua, gejala pengurasan, penghilangan hingga perusakan mutu
            alam yang mengancam umat manusia, terutama orang yang miskin dan
            tertindas, terjadi akibat pemujaan dan pemaksaan dari cara manusia
            berproduksi dengan segala kuasa dan proses sosial-politik yang dipan-
            carkan dan/atau mempengaruhi cara berproduksi itu. Ketiga, keterba-
            tasan dan bias kepentingan maupun ideologi yang diidap oleh berbagai
            pihak, baik yang menjadi sutradara, produser, aktor utama, pemain figu-
            ran maupun penonton yang menjadi korban atau penikmat, mau tidak
            mau menyadarkan kita bahwa terdapat ragam persepsi, definisi, analisis,
            kesimpulan hingga rekomendasi mengenai data seputar perubahan
            agraria/lingkungan itu. Untuk memahami bagaimana ketiga “soko-guru”
            ini dipakai untuk menganalisa suatu gejala tertentu, disarankan untuk
            menggunakan prinsip metodologis bahwa “bagaimana segala sesuatu
            itu berkembang sesungguhnya bergantung sebagian pada di mana hal
            itu berkembang, di atas apa-apa yang telah secara historis mengendap
            di sana, dan di atas struktur sosial dan ruang yang telah ada di tempat
            itu.” 7

                Di lingkungan agraria dataran tinggi Priangan ini, kita akan me-
            nemukan beragam jenis sumber daya beserta tipe organisasi pengelolanya
            yang berbeda-beda, baik untuk produksi maupun konservasi. Masing-
            masing memiliki sejarah awal mulanya, dan dalam perjalanannya berjalin
            satu sama lain. Sebagian daripadanya sudah berakhir, seperti perkebunan
            kopi dan kina, dan hanya meninggalkan artefak-artefak, baik dalam ben-
            tang alam maupun dalam kebudayaan rakyat. Perubahan lingkungan

            agrariadari dataran tinggi Priangan sepanjang tiga abad ini sangat dina-
                                                                       8
            mik. Dibandingkan dengan dataran rendah di pantai utara Jawa Barat ,
                7  Allan Pred and Michael John Watts, Reworking Modernity: Capitalism and Sym-
            bolic Discontent. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press, 1992, halaman 11.
                8  Yang terbaru, misalnya Jan Breman and Gunawan Wiradi, Good Times and Bad
            Times in Rural Java: Case Study of Socio-economic Dynamics in Two Villages Towards the
            End of the Twentieth Century, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2002.
            156
   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169   170