Page 193 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 193

Hilmar Farid, dkk.
            melegalisasinya. Sekadar gambaran saja, dimulai dengan data 80.000 ha
            tanah-tanah perkebunan terlantar yang diduduki dan digarap rakyat ter-
            sebut akan dilegalisasi dengan Undang-undang darurat No. 8 tahun 1954
            tentang Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Tindakan mendu-
            duki dan menggarap tanah-tanah perkebunan terlantar tidaklah dinya-
            takan sebagai perbuatan penyerobotan yang melanggar hukum, melai-
            nkan diselesaikan dengan dua cara sebagai berikut: (i) Bagi rakyat yang
            menduduki tanah perkebunan yang dikuasai oleh negara diberi sesuatu
            hak kepada rakyat dan penduduk lainnya setelah memenuhi syarat yang
            ketentuannya diatur oleh Menteri Agraria; dan (ii) Bagi perkebunan yang
            diduduki tanpa seizin perusahaannya maka diadakan penyelesaian
            melalui perundingan dengan unsur-unsur perundingan: panitia penye-
            lesaian, rakyat dan perusahaan. 58
                Selanjutnya, pada tahun 1957, Pemerintah Republik Indonesia kehi-
            langan kesabaran dengan menyatakan “membatalkan perjanjian KMB”
            secara sepihak. Hal ini kemudian diikuti dengan kebijakan nasionalisasi
            perusahaan-perusahaan milik asing melalui Peraturan Pemerintah Peng-
            ganti Undang-undang (Perpu) No. 86/1958 dan perundang-undangan
            pelaksanaannya. Dengan kebijakan nasionalisasi ini, perkebunan-
            perkebunan kembali dihidupkan melalui pendirian perusahaan negara
            perkebunan (PNP), yang pimpinannya dipegang langsung oleh perwira
            yang ditempatkan oleh Panglima Angkatan Perang RI.

                Selain masalah perkebunan, masalah tanah partikelir sungguh
            merupakan beban tanggungan pemerintah baru. Soal ini mendesak
            diselesaikan, mengingat jumlah tanah-tanah partikelir yang sangat luas,


                58  Menurut penelitian Dianto Bachriadi, keluarnya UU ini merupakan “kemenangan”
            secara hukum bagi massa rakyat tani penggarap Indonesia. Kalau dilihat secara lebih jauh isi
            UU No. 8 Darurat tahun 1954, khususnya pasal 2, 11, dan bagian Penjelasan Umum pasal 1
            dan 7 mengesahkan pendudukan lahan perkebunan tersebut. Termasuk dalam pasal 7, bagian
            Penjelasan Umum dari UU Darurat ini dinyatakan secara tegas bahwa tindakan yang akan
            diambil oleh pemerintah adalah memberikan kedudukan hukum kepada rakyat yang telah
            menduduki tanah-tanah bekas perkebunan asing tersebut. Lihat Dianto Bachriadi, “Warisan
            Kolonial yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan Tanah di Tapos dan Badega, Jawa
            Barat”, dalam Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Anu Lounella
            and R. Yando Zakaria (eds.), Yogyakarta: Insist Press: KARSA, 2002, halaman 41.

            184
   188   189   190   191   192   193   194   195   196   197   198