Page 198 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 198
Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
memilih cara radikal. Dan tanpa dukungan para sekutu tersebut,
pimpinan Angkatan Darat tidak bisa berharap memecahkan masalah besar
ekonomi yang diwarisi dari rezim sebelumnya. Lagi pula, Angkatan Darat
sendiri menganggap program land reform yang disponsori golongan
kiri selama awal 1960-an itu mengancam pengendaliannya atas beberapa
perkebunan milik negara. Dan akhirnya, sekalipun misalnya pimpinan
Angkatan Darat berhasil menerapkan strategi radikal itu, mereka tidak
bisa berharap bahwa strategi itu akan dapat memberikan hasil dengan
cepat. Kalau perubahan radikal itu dilakukan, maka anggota koalisi dan
rakyat pada umumnya harus banyak berkorban. Pengorbanan besar ini
akan makin diperberat dengan sangat lamban dan mungkin masih
disertai dengan tingkat inflasi yang tinggi. Ini jelas akan sangat menge-
cewakan rakyat yang sudah lama merindukan perbaikan kehidupan
ekonomi”. 67
68
Sebagai tandingan terhadap strategi populisme yang dianut peme-
rintahan Soekarno, pemerintahan Soeharto menetapkan ideologi “baru”
yakni pembangunanisme (developmentalism), yang merupakan wajah
baru dari kapitalisme. Strategi pembangunanisme ini dijalankan dengan
67 Menurut penulis, pengamatan bahwa “beberapa” perkebunan milik negara
dikendalikan oleh Angkatan Darat, kurang akurat (tanda petik dari Pen.) Studi Karl L. Pelzer
menunjukkan bahwa terjadi penguasaan besar militer terhadap perkebunan-perkebunan.
Sekitar 75% atau lebih dari 500 perkebunan Belanda di seluruh Indonesia, dan juga perusahaan-
perusahaan lain, berada di bawah pengawasan militer. Menyusul pengambilalihan itu, perwira-
perwira militer ditempatkan sebagai pengawas dan pengelola perkebunan tersebut. Jenderal
Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata memerintahkan wakil direktur pusat
Perkebunan Negara dipegang oleh seorang perwira yang bertanggung jawab kepada Kantor
Penguasa Perang Pusat. Dengan cara ini, tentara memegang posisi kunci dalam semua
badan yang melakukan pengawasan dan pengelolaan bekas perusahaan Belanda. Tugas utama
perwira militer itu adalah menata kembali susunan administratif, menormalkan, dan memajukan
perusahaan. Wewenang mereka dalam bidang personil, mulai dari pengawasan pengangkatan,
promosi, pemecatan staf sampai prakarsa untuk bekerja sama dengan buruh, staf dan pengelola.
Perwira militer ini juga mengawasi keuangan dan ikut menandatangani setiap cek bank.
Perumahan, transpor dan perawatan mesin serta perawatan bangunan pun berada di bawah
pengawasan mereka. Mereka berkewajiban pula untuk mencegah tindakan-tindakan yang
dapat merugikan perusahaan. Problem yang kemudian muncul adalah bersengketanya perwira-
perwira dengan buruh dan penduduk liar yang telah sejak bertahun-tahun pertama kemerdekaan
tak henti-hentinya berusaha untuk mendapatkan hak milik atas tanah itu. Perwira-perwira itu
juga melarang pemogokan guna mencegah penurunan produksi. (Pelzer, 1991: 189-217).
68 Soekarno menyebutnya sebagai “sosialisme Indonesia”.
189