Page 201 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 201
Hilmar Farid, dkk.
keputusan mengenai peruntukan tanah-tanah objek land reform. Jadi,
pengadilan ini merupakan representasi dari negara dan organisasi-orga-
nisasi massa petani dalam menentukan peruntukan tanah-tanah objek
land reform. (ii) Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1980, berisi Orga-
nisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Land Reform (di dalamnya terda-
pat pencabutan Keputusan Presiden No. 263 tahun 1964 tentang Penyem-
purnaan Panitia Land Reform sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden No. 131 tahun 1961). Panitia Land Reform yang mengandung par-
tisipasi organisasi-organisasi dihapuskan, diganti dengan panitia baru
yang didominasi oleh birokrasi [terdapat unsur Himpunan Kerukunan
74
Tani Indonesia (HKTI) –suatu organisasi massa petani ‘boneka’ peme-
rintah]. Jadi, panitia land reform diambil oleh birokrasi Orde Baru, mulai
tingkat menteri hingga lurah/kepala desa. Hasil yang nyata adalah
pemandulan partisipasi petani melalui organisasi massanya dalam pro-
gram land reform dan isu land reform berada dalam kontrol birokrasi.
Ketiga, penerapan kebijakan massa mengambang (floating mass)
menjelang pemilu tahun 1971 memotong hubungan massa pedesaan
dengan partai-partai politik. Partai-partai politik tidak boleh lagi mem-
punyai cabang di daerah kecamatan ke bawah. Rakyat pedesaan kehi-
langan saluran politik untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Peranan organisasi-organisasi massa petani pedesaan ditiadakan, diganti
dengan organisasi ‘boneka’ ciptaan pemerintah, seperti HKTI (Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia) dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh In-
donesia). Pada 1973 terjadi penciutan jumlah partai politik dari 10 partai
(kontestan pemilu 1971) hingga hanya 3 partai politik. Golongan agama
Islam bersatu dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan
Karya sebagai partai pemerintah, dan golongan nasionalis dan agama
(selain Islam) bersatu dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selan-
74 Dr. Loekman Soetrisno memberikan pendapat mengenai HKTI, “HKTI
(Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) pada hakekatnya bukanlah suatu organisasi murni
petani karena sebagian besar anggota pengurus organisasi itu berasal dari pejabat Departemen
Pertanian, mantan pejabat Departemen Pertanian, dan mereka-mereka yang tidak pernah
hidup sebagai petani. Akibatnya dalam beberapa hal HKTI nampak jelas sebagai suatu
organisasi milik pemerintah daripada organisasi milik petani” (Soetrisno, 1990, 33).
192