Page 194 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 194
Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
yakni hampir setengah juta ha (tepatnya 498.829 ha, sebagaimana dila-
porkan oleh pemerintah ke parlemen RIS pada tanggal 29 Juli 1950). Tuan-
tuan tanahnya memiliki kekuasaan yang hampir tak terbatas. Ia bagaikan
“negara dalam negara”. Posisi kaum petani dalam tanah-tanah partikelir
itu adalah kaum hamba, bagaikan budak saja. Sementara itu, posisi tuan
tanah partikelir bagaikan raja, yang bukan hanya memiliki tanahnya tapi
juga berhak atas penduduknya. Pemerintah memberlakukan Undang-
undang No. 1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir,
sehingga secara hukum dihapuslah segala bentuk hak-hak yang melekat
dalam tanah partikelir. Hak-hak tersebut meliputi hak pertuanan, yang
berarti hak untuk mengangkat dan memberhentikan kepala desa, me-
nuntut kerja paksa, mendirikan pasar-pasar, memungut pajak dan biaya
–biaya lain. Tanah-tanah partikelir diwajibkan untuk diredistribusi kepa-
da penduduk petani penggarap yang ada di dalamnya, serta sebagian
kecil kepada keluarga dan kerabat tuan tanah tersebut. 59
Penyelesaian masalah pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat dan
tanah-tanah partikelir adalah dua contoh besar reforma agraria di awal
pemerintahan RI. Berbeda dengan masalah tanah partikelir yang selesai
dengan tuntas, reforma agraria atas tanah-tanah perkebunan ternyata
digagalkan dengan kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
asing tersebut. Tak heran, semenjak itu bentrokan-bentrokan antara
perusahaan perkebunan dengan petani penggarap pun kembali merebak
di mana-mana.
Kemelut Implementasi Undang-undang Pokok Agraria
1960-1965
Sesuai dengan makna dari nama lengkapnya, Undang-undang No.
5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UUPA
diniatkan sebagai undang-undang pokok atau induk dari berbagai
perundang-undangan lain yang menjadi turunannya. Sayangnya karya
monumental bangsa (UUPA 1960) ini, ruang penerapannya menyempit
59 Soedargo Gautama, Op. Cit. Halaman 15–20.
185