Page 226 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 226
Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
kolonial-kapital. Pengerahan buruh perkebunan ada dalam konteks
saling penyesuaian antara kepentingan kapital asing dan tradisionalisme
lokal ini. Sejarah agraria Sumatra di belahan timur pekat dengan
cangkokan kapitalisme yang tumbuh di Eropa. Kapital berdatangan dari
Eropa dan Amerika ditanamkan di perkebunan tembakau, karet dan
kelapa sawit. Puluhan ribu buruh kontrak ber-migrasi dari Cina daratan,
India dan pedalaman Jawa yang menghidupi perkebunan-perkebunan
itu.
Begitu juga uraiannya mengenai Sulawesi yang memiliki dua karak-
ter, ruang agraria pesisir dan pegunungan atau dataran tinggi. Introduksi
komoditas baru, yakni kakao di pedalaman pegunungan Sulawesi, beker-
ja di dalam tatanan sosial yang ada sekaligus mengubah tatanan itu.
Perubahan beberapa dekade mutakhir di Lauje misalnya menunjukkan
terjadinya peralihan tanah yang terkonsentrasi pada komunitas tertentu
seiring dengan perluasan kebutuhan tanaman kakao. Juga terjadi pem-
bentukan ulang hubungan laki-laki dan perempuan terhadap tanah yang
semakin timpang. Para lelaki meninggalkan perempuan dalam membuat
keputusan mengenai pekerjaan berbasis agraria, bahkan ketika ingin
melakukan jual-beli tanah (keluarga).
M. Fauzi menulis mengenai ruang-geografis Kalimantan yang
menurutnya eksplorasi dan ekspansi kapital di wilayah ini menjadikan
Kalimantan tujuan penting berbagai arus modal yang masuk ke Hindia
Belanda. Pedagang Cina dan pemerintah kolonial Belanda sejak awal
telah memainkan peran penting dalam sirkulasi modal dan distribusi
barang keluar-masuk itu. Berbagai fasilitas pendukung bagi kelancaran
arus modal mengalir masuk ke pedalaman Kalimantan: pembangunan
sejumlah fasilitas pendukung di bidang transportasi darat dan laut,
pembangunan institusi keuangan, dan pembangunan sarana komu-
nikasi. Pulau ini masuk kedalam jaringan internasional pemodal dan
menjadi bagian penting sirkulasi modal. Jejaring etnis, lokal dan pen-
datang, ada dalam dinamika sirkulasi itu.
Demikian juga yang tampak dalam uraian sejarah-geografi agraria
di Nusa Tenggara. Hubungan antara kolonialisme dan tatanan lokal,
217