Page 25 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 25

Hilmar Farid, dkk.
            produksi kapitalis, adalah melalui perjanjian atau  kontrak dengan
            penguasa lokal yang sedang bertikai. VOC akan mengirim pasukan militer
            untuk mendukung salah satu pihak dan sebagai gantinya mereka
            mendapat ‘hak’ atas tanah yang dikuasai oleh pihak tersebut. Dengan
            cara seperti itu VOC bisa memperluas kekuasaannya di Jawa pada abad
            ke-18. Dalam proses itu juga tidak terjadi pembentukan ‘tenaga kerja
            bebas’ dalam jumlah yang masif. Keluhan utama penguasa kolonial di
            Nusantara adalah kesulitan mencari tenaga kerja, karena penduduk
            setempat masih memiliki berbagai alternatif untuk menyambung hidup
            di luar kerja upahan. Ini adalah krisis kapitalisme pertama di tanah ja-
            jahan, yang diselesaikan dengan cara yang sangat brutal. VOC rupanya
            punya reputasi besar dalam urusan ini, sampai Marx yang tak pernah
            menginjakkan kakinya di Asia pun ikut mencatat:

                “The history of Dutch colonial administration–and Holland was the
                model capitalist nation of the seventeenth century–‘is one of the most
                extraordinary relations of treachery, bribery, massacre, and meanness.’
                Nothing is more characteristic that their system of stealing people in
                Celebes, in order to get slaves for Java. People-stealers were trained for
                this purpose. The thief, the interpreter, and the seller were the chief agents
                in the trade; the native princes were the chief sellers. The young people
                thus stolen were hidden in secret dungeons on Celebes, until they were
                ready for sending to the slave-ships” (Marx 1976: 916)
                Kaum aristokrat lokal memang berperan penting dalam pengerahan
            tenaga kerja secara paksa. Di Jawa, kekuasaan priyayi tidak diukur berda-
            sarkan luas tanah yang dimilikinya tapi dari jumlah cacah yang hidup
            di bawah kekuasaannya (Onghokham 1983: 64). Tanah mulai menjadi
            penting pada akhir abad kedelapanbelas ketika produksi komoditi sudah
            stabil, dan kunci stabilitas itu adalah persediaan tenaga kerja. Paksaan
            fisik memang menentukan pembentukan ‘tenaga kerja bebas’ tapi juga
            tidak dapat diandalkan terus-menerus. Para cacah bisa pindah, masuk
            ke hutan, atau pindah mengabdi kepada priyayi lain jika terus berada di
            bawah tekanan, dan dalam situasi persaingan di antara penguasa lokal
            hal itu menjadi kekuatan tawar di pihak cacah. Di Sulawesi dan Kali-
            mantan penduduk bisa bertahan dengan cara produksi non-kapitalis

            16
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30