Page 23 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 23
Hilmar Farid, dkk.
benar bahwa ‘tenaga kerja bebas’ merupakan tanda terjadinya produksi
kapitalis karena hanya di bawah kapitalisme tenaga kerja diperjual-
belikan untuk menyambung hidup. Tapi dalam konteks sejarah/geografi
yang penting untuk dipelajari kapan dan di mana ‘tenaga kerja bebas’
itu muncul dan apa yang membuatnya demikian. Marx dalam Capital
menjelaskan bahwa proses itu sama sekali tidak alamiah. Ia membahas
apa yang disebutnya ursprungliche Akkumulation atau ‘akumulasi asali’,
yakni proses yang memulai seluruh rangkaian produksi kapitalis itu. Di
jantung proses itu adalah pemisahan orang dari alat produksinya,
sehingga tidak ada yang tersisa padanya kecuali tenaga kerja yang
kemudian harus dijual untuk menyambung hidup. Ia lebih jauh memper-
lihatkan bahwa masyarakat tidak sedia memasuki hubungan kerja sema-
cam itu dengan sukarela. Di Inggris pemisahan orang dari alat produksi
terutama terjadi melalui enclosure, atau pemagaran tanah secara massal
sehingga masyarakat yang sebelumnya bisa memanfaatkan tanah itu
untuk menggembala dan bertani dibatasi aksesnya. Karena tidak ada lagi
akses maka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka harus memasuki
hubungan kerja baru yang ditentukan oleh upah. Proses ini oleh Marx
digambarkan berlangsung sangat keras, seolah “ditulis dalam sejarah
umat manusia dengan aksara darah dan api.” (Marx 1976: 875).
Penjelasan Marx tentang akumulasi asali ini sangat penting bagi
sejarah kolonialisme karena tidak adanya kapital ‘pribumi’ yang cukup
kuat sebagai basis bagi produksi kapitalis di tanah jajahan. Produksi
komoditi untuk pertukaran memang terjadi di masa pra-kolonial dan
bahkan ada beberapa indikasi munculnya kapitalis pribumi di Banten
pada masa kesultanan (Untoro 2007), tapi tidak ada di antaranya yang
kemudian berkembang menjadi kekuatan yang menentukan. Pendapat
kaum nasionalis–yang mungkin sebagian diilhami oleh pandangan Mao
Zedong tentang sprouts of capitalism (Dirlik 1982)–bahwa kolonialisme
datang dan menghalangi perkembangan kapital pribumi lebih merupa-
kan pernyataan politik tidak punya landasan empirik yang cukup. Hal
yang lebih penting diperhatikan sebenarnya bukan soal ‘keaslian’ kapital,
tapi perbedaan di antara komunitas-komunitas di Nusantara ini dalam
menghadapi serbuan kapital dari Eropa. Apakah adanya produksi
14