Page 19 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 19

Hilmar Farid, dkk.
            (Robinson 1986: 19). Hal serupa berulangkali terjadi dalam skala yang
            tidak kalah masif selama dua ratus tahun terakhir dan sudah sepatutnya
            mendapat perhatian serius dalam kajian sejarah agraria. Jika melihat
            rumusan ini maka ruang agraria lebih merupakan proses daripada
            entitas, sesuatu yang terus bergerak dan mengalami perubahan bentuk
            dan makna. Proses ini tidak hanya bersifat fisik tapi juga sosial dan kul-
            tural sekaligus karena melibatkan konsepsi mengenai ruang tersebut dari
            berbagai pihak yang terlibat dalam pembentukannya. Rendahnya
            produktivitas petani di sebuah wilayah dalam periode tertentu misalnya
            dalam kajian ‘sejarah ekonomi’ akan dijelaskan sebagai akibat dari
            rendahnya pengetahuan atau ketrampilan mengolah tanah–atau dalam
            kasus yang lebih parah, sebagai bukti kemalasan orang setempat–padahal
            kerap merupakan bentuk perlawanan tersembunyi (Scott 1985). Banyak
            konflik agraria di Nusantara dewasa ini bersumber dari perbedaan
            konsepsi mengenai tanah dan fungsinya bagi masyarakat. Karena itu ka-
            jian agraria juga perlu memperhatikan dimensi ini dengan cermat dan
            tidak menyampingkannya sebagai masalah ‘kebudayaan’ yang dianggap
            sekunder.
                Lalu di mana tempat hukum agraria yang selama ini begitu sentral
            dalam narasi sejarah agraria? Dalam proses pembentukan ruang agraria
            tentu muncul kesepakatan dan konvensi untuk menentukan batas dan
            aturan mengenai ruang tersebut dan hubungan antara ruang yang satu
            dengan yang lain. Masalahnya tidak semua kesepakatan dan konvensi
            ini dikodifikasi sebagai hukum dalam pengertian modern sebagai
            perangkat aturan yang mengikat dan ditetapkan oleh negara. Ada banyak
            aturan dalam masyarakat tidak ditetapkan secara persis dan rinci justru
            untuk memberi ruang pada proses negosiasi di antara pihak yang berse-
            lisih. Hukum kolonial dan nasional yang muncul kemudian bersifat cang-
            kokan dari atas dan tidak serta merta mencerminkan kepentingan sosial
            masyarakat secara menyeluruh. Dalam banyak kasus hukum itu hanya
            dapat ditegakkan dengan paksaan dan bukan melalui kesepakatan atau
            konvensi. Narasi sejarah yang menempatkan hukum agraria sebagai
            elemen sentral karena itu tidak lain dari sejarah pergantian rezim hukum
            tanah yang lebih menggambarkan alam pikir kolonial dan kepentingan-

            10
   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24