Page 105 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 105
Ungkapan Hatta menjelaskan bahwa persoalan politik,
termasuk politik agraria nasional, tidak dapat dilepaskan dari
persoalan ekonomi. Hatta secara terus terang menempatkan
pentingnya antara ekonomi dan politik berada dalam satu tarikan
napas. Hatta, dalam tulisannya yang lain, menyatakan bahwa
untuk konteks Indonesia tanah merupakan faktor produksi utama
yang akan menopang perekonomian negara, karena Indonesia
adalah negeri agraria, yang kaya akan sumber daya agraria. 104
Baik buruk penghidupan rakyat bergantung pada keadaan
milik tanah. Sebab itu tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan
seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak.
Karena itu pula, dalam perusahaan besar tidak boleh tanah yang
dikelolanya merupakan miliknya maupun milik satu orang. Hak
milik perorangan atas tanah yang luas, sementara orang banyak
sekadar menjadi buruh di atas tanah tersebut, adalah pembawaan
105
dasar individualisme yang telah dipraktikkan selama masa
kolonial Hindia Belanda, di bawah konsep domeinverklaring-nya.
Bagi Hatta domeinverklaring tidak bersesuaian dengan
cita-cita ekonomi politik agraria Indonesia. Lantas, bagaimana
sesungguhnya nasib pernyataan kepemilikan negara
(domeinverklaring) dalam politik hukum Indonesia yang baru
merdeka itu? Menjelang satu dekade setelah kemerdekaan
Indonesia, Soekarno mengeluarkan PP Nomor 8 Tahun 1953
tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Peraturan tersebut
menghidupkan kembali domeinverklaring, yang bertransformasi
menjadi “tanah negara.” Penjelasan umum peraturan ini
104 Mohammad Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Ke Ekonomi dan Koperasi,
Perpustakaan Perguruan Kementerian PP dan K, Jakarta, 1954, hlm. 269.
105 Ibid.
70 Reforma Agraria Tanah Ulayat