Page 166 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 166
itu bisa dinyatakan dalam suatu sanksi, tetapi sanksi itu kurang penting
dibanding dengan segi positif dari timbal-balik ini, yaitu imbalan sosial…
Soal timbal-balik bukan hanya soal sanksi, tetapi juga imbalan.” 192
Sama halnya Malinowski, Herbert Spencer berpandangan
bahwa hukum yang ada dalam masyarakat adat berjalan atas dasar
prinsip timbal-balik, yang menjaga agar seorang individu tidak
akan merugikan atau berlaku jahat terhadap sesama individu
lainnya. Azas timbal-balik ini juga ditopang oleh keyakinan bahwa
hukum yang ada berasal dari aturan hidup dan bergaul para nenek
moyang. Dengan demikian, ketakutan terhadap norma hukum
dalam masyarakat adat berlandaskan pula kepada ketakutan akan
kemarahan roh-roh nenek moyang bilamana aturan-aturan tadi
193
dilanggar. Semakin terang bahwa selain dibangun atas relasi
hukum publik, antara orang atau komunitas masyarakat adat
dengan tanah yang menjadi properti hak ulayat juga dijalankan
oleh suatu sistem hukum berdasarkan prinsip timbal-balik.
Prinsip timbal-balik ini berhubungan dengan kepercayaan akan
keberadaan nenek-moyang masyarakat adat tersebut, inilah yang
dinamakan dengan hubungan religius-magis.
Selanjutnya, apa yang terjadi pada kasus Senama Nenek?
Setelah reforma agraria dilaksanakan, dari total 2.800 hektar
luas lahan yang menjadi objek konflik dengan PTPN V, sekitar
2.500 hektar telah dikaveling ke dalam petak-petak persil milik
perorangan yang dokumennya secara resmi dikeluarkan oleh
negara–tepatnya oleh lembaga di bawah naungan ATR/BPN. Hal
192 J. van Baal, Geschiedenis en groei van de theorie der culturele Anthropologie,
diterjemahkan oleh J. Piry, Gramedia, Jakarta, 1988, hlm. 59.
193 Herbert Spencer, The Principles of Sociology (Vol. II), D. Appleton and Company, New
York, 1900, pp. 513-537.
Reforma Agraria atas Tanah Ulayat 131