Page 163 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 163
masih ada meski telah dibagi-bagi lewat program reforma agraria.
Mengenai hal ini, saya telah mengutip pernyataan dari Mukmin
Zakie pada bagian awal bab ini–tepatnya pada sub pembahasan
“Reforma Agraria di Senama Nenek”–bahwa semakin hak privat
itu menguat, yang ditandai dengan keberadaan SHM, maka
semakin besar kemungkinan hilang atau berakhirnya hak ulayat
masyarakat adat. Bukan hanya Zakie, salah satu intelektual hukum
agraria Indonesia yang tersohor–Boedi Harsono–juga menyebut
kekuatan hak ulayat terhadap tanah menjadi berkurang bilamana
terjadi penguatan pada hak privat atas tanah tersebut. 187
Di banyak daerah, demikian Harsono, hak-hak perseorangan
sudah sangat kuat hingga hak ulayat menurut kenyataannya
sudah kehilangan kekuatan atau hampir-hampir tidak terasa
lagi. Namun, sebetulnya bukan pula berarti di dalam hak ulayat
tidak terdapat hak perorangan. Orang perorangan dibolehkan
menguasai sebidang tanah dalam ulayat. Hanya saja tanah
yang dikuasai itu menjadi milik selama yang menguasai masih
mengelola. Bilamana tanah tidak lagi dikelola, maka ia kembali
menjadi bagian ulayat secara utuh untuk selanjutnya dikelola atau
188
dimiliki oleh orang lain. Teranglah di sini bahwa hukum adat
mengenal isi pengertian fungsi sosial dari hak-hak atas tanah.
Warga masyarakat adat diberi kemungkinan membuka,
menguasai dan menghaki tanah bukan sekadar untuk dipunyai,
melainkan dengan tujuan untuk diusahakan bagi pemenuhan
kebutuhan mereka masing-masing. Kalau tanah itu ditelantarkan
maka hal tersebut bertentangan dengan fungsi sosial atas tanah.
187 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 188.
188 Ibid.
128 Reforma Agraria Tanah Ulayat