Page 165 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 165
pada lahan yang hendak digunakan kenegerian, tetapi menolak
permintaan kenegerian bagi seorang yang memegang hak pakai
190
sama artinya melempar aib ke muka sendiri. Penolakan
terhadap permintaan kenegerian untuk menggunakan lahan yang
telah memiliki subjek hak pakai dipercaya mendatangkan bala
atau malapetaka bagi keseluruhan negeri. Mungkin akan timbul
pertanyaan, mengapa orang takut untuk tidak menyerahkan lahan
yang sedang dikelolanya itu kepada kenegerian? Apa hubungan
antara mengelola lahan serta menolak permintaan kenegerian
dengan aib ataupun malapetaka?
Meskipun tata-tertib kemasyarakatan dilindungi oleh apa
yang disebut hukum sebagai suatu sistem pengendalian, tapi dalam
pelaksanaannya norma hukum masyarakat adat tidak didukung
dengan keberadaan alat-alat kekuasaan yang diorganisir oleh
suatu lembaga seperti negara sebagaimana lazimnya ada dalam
sistem hukum modern. Bronisław Malinowski, sebagaimana
dinukil dari Koentjaraningrat, menyatakan hukum dalam
masyarakat adat berjalan menurut prinsip timbal-balik (principle
of reciprocity). Prinsip ini meyakini daya pengikat dan daya gerak
191
masyarakat didasarkan pada sistem tukar-menukar. Terkait
prinsip timbal-balik Malinowski, J. van Baal mengatakan,
“Yang menjadi hakikat hukum baginya [Malinowski] adalah: “All the rules
conceived and acted upon as binding obligations.” Binding obligation itulah
yang menjadi esensi dari apa yang dapat dinamakan undang-undang.
Binding obligation itu dijadikan dasar pada ketentuan fundamental bagi
setiap masyarakat, yaitu timbal-balik. Soal timbal-balik (reciprocity)
190 Lihat John Harrison, “Public Rights, Private Privileges, and Article III,” Georgia Law Review,
Vol. 54, Issue 1, 2020, pp. 160-161.
191 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, UI Press, Jakarta, 1987, hlm. 167-168.
130 Reforma Agraria Tanah Ulayat