Page 94 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 94
Keberadaan ulayat dengan batas-batas yang telah ditetapkan
nenek moyang dan struktur kekuasaan yang menentukan hak
akses terhadap ulayat tersebut berada di tangan kepala suku dan
pucuk negeri adalah bersifat mutlak dan abadi–“Tidak lekang
karena panas, tidak lapuk karena hujan”. Meskipun kekuasaan
ninik mamak atau pucuk suku dan pucuk adat “dianjak indak
layu, dicabuik indak mati” (dipindah tidak layu, dicabut tidak
mati), namun sebagai pemegang warisan harta soko dan pusako
tinggi (berupa ulayat beserta isinya) mereka tidak dapat
menggunakannya secara sewenang-wenang sesuai kehendaknya.
Ninik mamak dalam menjalankan tugas sebagai “kombuik bonigh
kandang pusako, berpegang teguh pada prinsip “sayang dibuat,
teguh di janji.”
Harta soko atau pusako tinggi tidak boleh dibawa ninik mamak
ke rumah istri atau anaknya. Tidak pula diperbolehkan untuk
menjual atau menggadaikan. Larangan menjual dan menggadaikan
ini memiliki pengecualian, jika terjadi empat kondisi dimana
diperbolehkan untuk menjual atau menggadaikan. Empat kondisi
tersebut adalah: Pertama, ghumah godang katighisan (rumah
besar ketirisan). Kondisi ini berarti memperbaiki rumah soko yang
memerlukan biaya. Kedua, mayat tabuju nan nak diselamatkan
(jenazah terbujur yang hendak dimakamkan). Maksudnya ialah
mayat yang tidak bisa dikubur karena ketiadaan anggaran. Ketiga,
jando/gadi tuo nan ndak balaki (janda/gadis dewasa yang tidak
bersuami). Pada kondisi ketiga ini, di mana terdapat gadis dewasa
atau janda yang tidak bersuami yang tidak memiliki sumber
ekonomi. Dan Keempat, menogakkan adat jo pusako (mendirikan
adat dan pusako) yang berarti keperluan mendirikan penghulu
Masyarakat Adat Senama Nenek 59