Page 99 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 99
‘tak terelakkan’ bagi negara menjadi pemilik tanah dan seluruh
sumber daya alam dalam wilayah jajahan. Penguasaan wilayah
adat oleh masyarakat adat, menurut mereka, harusnya menjadi
hak publik dari pemerintah karena alasan kedaulatan negara.
Dalam pandangan mereka, rakyat bumi putra adalah mereka yang
menduduki, menguasai, dan memanfaatkan tanah milik negara
berdasarkan hukum adat setempat. Berdasarkan konsep hak
eigendom, hak kepemilikan tanah mereka tidak bisa diakui dan
mereka tidak berhak menjadi pemilik tanah. Mereka hanyalah
bewekers alias penggarap. 90
Agrarisch Besluit 1870 dengan konsep domeinverklaring
secara harfiah memiliki tujuan positif menyangkut pemberian
kepastian hak atas tanah bagi golongan Bumiputra–orang-orang
atau penduduk lokal di nusantara pada masa itu. Semenjak
berlakunya peraturan yang dikeluarkan pemerintahan negara
kolonial tersebut, di nusantara kala itu–(H)india Belanda/
Nederlandsch Indie–berlaku dualisme hukum pertanahanan.
Sifat dualisme hukum tanah ini berkaitan dengan keberadaan
Hukum Eropa (Burgerlijk Wetboek, dan lain lain) di satu pihak
dan di pihak yang lain dalam waktu yang bersamaan berlaku pula
hukum adat (hukum tanah adat). 91
Dilihat sejenak kebijakan dualisme hukum tanah kelihatan
bagus karena kesannya mengakomodir hukum tanah yang
berlaku di masyarakat (hukum tanah adat). Namun, dualisme
hukum pertanahan di era Hindia Belanda menjadi pintu masuk
bagi penanaman modal asing, sehingga secara hakiki sejatinya
pernyataan domein yang diatur dalam Agrarisch Besluit 1870
90 Ibid., hlm. xvi.
91 A. Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, hlm. 11.
64 Reforma Agraria Tanah Ulayat