Page 426 - Berangkat Dari Agraria
P. 426
BAB XI 403
Dinamika Jalan Kebudayaan
presiden, gubernur, bupati/walikota, hingga kepala desa. Pers juga
bebas merdeka.
Akan tetapi, rakyat “dipaksa” menerima model pembangunan
ekonomi masih berbasis modal besar, monopolistik dan menghisap,
yang disebut Bung Karno sebagai ekonomi “kaum kapitalis” itu.
Kini, kekuatan modal berskala raksasa masih mendapat tempat
istimewa dalam pembangunan ekonomi dan investasi di berbagai
sektor kehidupan. Misalnya, perusahaan pertambangan dominan
dikuasai korporasi besar bermodal asing. Perkebunan dan kehutanan
juga banyak dikuasai korporasi besar. Sementara ketenagakerjaan
masih belum beranjak dari ketidakadilan.
Watak kekuatan pemodal besar ini dulu ditentang para pendiri
republik. Kritik pakar dan aktivis terhadap RUU Cipta Kerja yang
disinyalir jadi karpet merah bagi pemodal besar, jadi alarm yang
patut didengar pembuat undang-undang.
Sejatinya demokrasi ekonomi masih jauh. Kita harus
mengubah langkah dengan mengambil jalan berbeda untuk
mengubah kenyataan, sesuai esensi Pancasila. Tengok UUD 1945
yang mengamanatkan demokrasi ekonomi sebagai jalan terbaik,
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan; Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara;
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”, (Pasal 33). Ini adalah panduan bagi seluruh peraturan
perundangan dan kebijakan pemerintah.
Bagi Petrus Kanisius (2015), Pasal 33 dan penjelasan melarang
adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang atau pun
seorang. Dengan kata lain monopoli, tidak dapat dibenarkan.
Namun faktanya saat ini berlaku di dalam praktek-praktek usaha,
bisnis dan investasi dalam bidang pengelolaan sumber daya alam
sedikit banyak bertentangan dengan prinsip Pasal 33.