Page 573 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 573
Masalah Agraria
warga negara atau bukan. Kalau ia bukan warga negara
tanah erfpachtnya harus diserahkan kepada negara dengan
kerugian yang sepatutnya. Jika erfpachter berhajat mene-
ruskan perusahaannya, ia dapat menyewa tanah itu. Bila
ia tidak menghendakinya, tanah itu dapat pula diberikan
dengan hak erfpacht itu kepada orang (dengan hak yasan
kepada warga negara asli) dengan pembayaran kerugian
buat yang mempunyai hak semula tadi.
e. Kalau yang berhak itu warga negara maka dua kemung-
kinan perlu ditinjau masing-masing yakni: termin hak
erfpacht sudah lampau atau belum. Buat erfpacht yang
sudah lampau waktunya peraturan yang masih berlaku
(Stbl. 1904 No. 326) menjamin kepada yang berhak akan
diperpanjang terminnya lagi. Tentang itu tiadalah kebe-
ratannya, asal dengan perjanjian-perjanjian baru seperti
termaktub pada sub b di atas. Adapun tanah kelebihannya
mungkin diberikan kepada sesuatu jawatan, perseorangan
atau desa yang mempunyai lingkungan tanah tadi, atau-
pun jika itu tidak mungkin, dikuasai kembali oleh negara.
Secara suka rela mungkin desa bisa menyewakan tanah
tersebut kepada erfpachter kembali. Buat melepaskan hak-
nya atas tanah yang diserahkan kepada desa itu erfpachter
mendapatkan uang kerugian sepatutnya. Ini bergantung
kepada (1e). asal mulanya tanah tadi, dari tanah liar,
(woeste grond) yang dibuka oleh pengusaha dengan biaya
sendiri atau hak dari pembelian tanah desa; (2e). dari
keadaan tanah pada waktu ini, tanaman dan perumahan
yang ada di situ. Menurut keadilan dan kemanusiaan hen-
daknya barang apa keperluan klein landbouw yang ada di
tanah tadi seberapa boleh diberikan kepada pengusaha; ta-
nah kelebihannya 10 ha tersebut hendaknya (kalau mung-
kin) dipilih jadi bagian-bagian yang tidak terdapat peru-
mahan atau perlengkapan perusahaan.
f. Perihal tersebut e ada kecualinya yang penting. Syarat
mutlak bagi hak erfpacht kleinbouw menurut Stbl 1904
No. 326 dan peraturan-peraturan berikutnya ialah bahwa
tanah itu tidak boleh “diparokan” kepada rakyat yang ber-
552