Page 667 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 667

Masalah Agraria

            Namun dalam perkembangannya ia memperoleh pengaruh
            yang luas.  Dalam menarik simpati massa, para pemimpin BTI
            mendekati Sri Sultan Hamengku Buwana IX. 9
                BTI yang dalam historiografi Indonesia identik dengan
            PKI tidaklah dapat dibenarkan, setidaknya untuk periode awal.
            Para pendirinya adalah kaum moderat dan sosialis yang waktu
            itu telah cukup kuat berada di Yogyakarta. Mereka mem-
            punyai ikatan kuat dengan para pemuda Pathuk dan menjalin
            hubungan dengan Sjahrir pada waktu Jepang berkuasa. Se-
            mentara PNI dan PKI justru muncul belakangan di Yogya-
            karta. 10
                BTI yang dipimpin oleh S. Sardjono (ketua) dan Moch.
            Tauchid (ketua bagian sosial ekonomi), mempunyai pengaruh
            besar terhadap penyusunan birokrasi pemerintahan Yogya-
            karta pasca-merdeka. Ketika melangsungkan konferensi tang-
            gal 27-28 Oktober 1945, mereka mengajukan mosi kepada
            pemerintah agar segera dibentuk DPR di setiap kelurahan hing-
            ga pusat, dan tuntutan perbaikan nasib kaum tani yang diwa-
            kilinya, yang menurutnya berjumlah 1,5 juta kaum tani di Yog-
            yakarta. 11
                Dari sini tampak bahwa kemerdekaan merupakan peluang
            baru (jembatan emas) dalam merumuskan identitas kebang-


            9  Andi Achdian, Tanah bagi yang Tak Bertanah, Landreform pada Masa Demokrasi
             terpimpin, 1960-1965, (Bogor: Kekal Press dan STPN, 2009), hlm. 38
            10  P.J. Suwarno, op.cit., hlm. 203
            11   Ibid. Angka sebesar itu tampaknya lebih memberi makna pada kekuatan
             semangat daripada ketepatan numeriknya. Sebab, sampai dengan tahun
             1953, ketika BTI telah menjadi organisasi massa yang berafiliasi dengan
             PKI, anggota yang diklaimnya hanya mencapai 360.000 dan baru meningkat
             secara pesat setelah pemilu 1955 (3,3 juta). M. C. Ricklefs,  Sejarah Indone-
             sia Modern, 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 493

            646
   662   663   664   665   666   667   668   669   670   671   672