Page 132 - Pengantar Hukum Tata Negara
P. 132
Pengantar Hukum Tata Negara 121
Cara yang lazim untuk mengisi suatu jabatan presiden ialah
dengan cara pengangkatan atau dengan cara pemilihan, UUD 1945
menegaskan jabatan menteri diisi melalui pangankatan, jabatan
presiden dan lembaga legislatif diisi melalui pemilihan, baik itu
pemilihan langsung maupun tidak langsung.
Ketentuan yang mengatur pengisian jabatan dengan cara
pemilihan adalah Pasal 6 ayat (2) sebelum amandemen yang berbunyi
“Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan suara terbanyak. Menurut Harun Al Rasid ketentuan
211
tersebut di atas dapat di ketahui bahwa: pertama, Presiden di pilih
(bukan “diangkat”) oleh suatu badan negara, yaitu MPR, pemilihan
presiden dilakukan secara tidak langsung. Artinya rakyat memilih
dulu wakil-wakilnya yang duduk di MPR, kemudian badan inilah
yang melakukan pemilihan presiden dan wakil presiden, MPR
juga mempuyai wewenang lain, kedua, Pemilihan presiden di
lakukan dengan pemungutan suara (voting). Jadi tidak dengan
cara musyawarah untuk mufakat (tanpa voting). Yang terpilih
sebagai presiden ialah calon yang memperoleh suara terbanyak. Jadi
antisipasi pembuat UUD ialah akan terdapat lebih dari satu calon.
Berdasarkan amandemen UUD 1945 ditegaskan bahwa presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 6A UUD 1945 menyatakan
bahwa:
1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.
2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
211 Harun Alrasid, “Pemilihan Presiden dan Pengantian Presiden dalam
Hukum Positif Indonesia. (pidato Pengukuhan jabatan Guru besar
Madya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 29 Juli 1995).
Lihat juga Hendra Nurtjahjo. Politik Hukum Tata Negara Indonesia.
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2004),
hlm. 217.