Page 124 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 124
kehidupan keagamaan yang berporos pada agen, semakin memperkuat
pola hubungan vertikal dalam budaya patronase pada masyarakat Bugis
di Kawasan Delta Mahakam.
4.3 PENGELOLAAN “PERTAMBAKAN ILEGAL”
Pelras (2006) dengan sangat antusias mencatat, bahwa sepanjang
sejarah sosio-kultural orang Bugis, sejumlah ciri khas tertentu dengan
sangat menakjubkan tetap melekat dalam diri mereka. Diantaranya
adalah kecenderungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang
ekonomi yang lebih baik dimanapun dan kapanpun. Selain itu daya
adaptasi mereka terhadap keadaan yang dihadapi sangat mengagumkan,
“dimana kaki berpijak disitu langit dijunjung”. Orang Bugis tidak hanya
sekedar mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan mereka, bahkan
memberi warna tersendiri terhadap lingkungannya yang baru. Sementara
kecenderungan mereka yang tampak saling berlawanan – berpandangan
hirarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus
berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider
terhadap sesama orang Bugis – dipadukan dengan nilai-nilai yang
diutamakan seperti, keberanian, kecerdasan, ketaatan terhadap ajaran
agama dan kelihaian berbisnis, merupakan unsur-unsur penggerak utama
dalam perkembangan hidup mereka selama ini. Sebuah kualifikasi yang
sangat baik untuk menjadi entrepreneur yang berhasil.
Orang Bugis Delta Mahakam, meskipun memiliki persamaan bahasa
dan budaya yang mengikat mereka sebagai orang Bugis, namun mereka
tidaklah homogen. Karena para migran Bugis yang datang ke kawasan
Delta Mahakam tidak hanya berasal dari satu daerah tertentu di Sulawesi
Selatan, Selain itu selama beberapa generasi menetap di Kawasan Delta
Mahakam, mereka tampaknya juga telah menarik batas perbedaan
antara penduduk asli (keturunan Bugis generasi pertama) dan migran
pendatang (keturunan Bugis dari sekitar pantai timur Kalimantan),
maupun migran Bugis yang baru datang belakangan dari Sulawesi, serta
orang Bugis yang terasimilasi atau terintegrasi dengan etnik lain. Juga
Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal” 97