Page 126 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 126

dileteangngi pai, andiang dalle, napole mettiroma, diang dalle mulolongan, da
             mugula gulai, andiang dalle, nasadia-dianna”. Artinya rezeki itu harus dicari,
             titian harus dibuat karena rezeki tidak akan pernah datang menyongsong
             kita, apabila rezeki telah terjangkau, janganlah hidup boros sebab rezeki
             yang ada itu suatu saat akan tiada.
                 Sementara hirarki menjadi tulang punggung dan sokoguru dari tata
             moral kegiatan usaha orang Bugis. Inti sari hirarki sosial adalah perbedaan
             relatif diantara yang lebih dan yang kurang atas (ketidaksamaan) prinsipil
             diantara masing-masing orang. Dimana mereka yang lebih atas harus
             memimpin, mengajar, melindungi dan bertanggungjawab; yang lebih
             bawah mengikut, menerima dan bertanggungjawab, berterima kasih dan
             hormat, sementara kesadaran akan jenjang-jenjang kedudukan mereka
             itu diungkapkan dengan perilaku dan bahasa tertentu ( Mulder, 1999).
             Berbagai komponen kultural yang selalu diaktualisasikan dengan situasi
             dan kondisi masa lokal itulah yang pada akhirnya mempengaruhi strategi
             pengembangan usaha pertambakan yang terbangun.
                 Dengan pengertian bahwa ikatan-ikatan tersebut ditujukan
             “untuk memastikan bahwa mereka yang hidup dibawah akan dipenuhi
             kebutuhan dasarnya, termasuk akses untuk mendapatkan tanah, sekaligus
             menawarkan kepada yang diatas akan ketersediaan pengikut yang
             diperlukan sebagai modal tenaga kerja (petambak atau penjaga empang),
             yang akan digunakan untuk ketahanan ekonomi maupun sebagai modal
             simbolik (pengikut) yang dipamerkan pada kesempatan khusus atau
             upacara-upacara perayaan” ( Acciaioli, 1989). Menurut  Vayda dan Sahur

             (1996), masyarakat Bugis menggunakan hubungan pemimpin-pengikut
             ( patron-clients), bertindak tidak sebagai majikan yang berhadapan dengan
             para pegawai yang digaji seperti dijabarkan dalam sistem kapitalis. Karena
             mereka lebih bersikap sebagai kepala keluarga tradisional yang terus
             menolong menutupi kebutuhan para pekerja, seperti membayar biaya
             keperluan darurat dan biaya lain untuk memenuhi kewajiban upacara
             adat.
                 Namun demikian, hubungan  patron-clients yang terjadi dalam
             kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, secara fungsional



             Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”                        99
   121   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131