Page 179 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 179
6.1 PERUBAHAN SISTEM SOSIAL DAN EKOLOGI LOKAL
Kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam secara besar-
besaran sebenarnya baru dimulai sejak awal tahun 1990-an dan mencapai
puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-1998, dipicu oleh
tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “ boom udang”.
Yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya “ledakan penduduk” akibat
mobilitas etnik Bugis dalam membuka area tambak baru dikawasan
tersebut. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari keberadaan beberapa
perusahaan perikanan global yang telah beroperasi di sekitar kawasan
Delta Mahakam jauh sebelum terjadinya “ boom udang”. Tentu saja ini
sebagai reaksi para pemilik modal atas besarnya permintaan pasar global
terhadap hasil perikanan (khususnya udang windu).
Sebelum tahun 1980, kawasan hutan mangrove di Delta Mahakam
nyaris masih belum terjamah oleh kegiatan eksploitasi pengembangan
pertambakan. Meskipun pada 1974 telah berdiri cold storage, namun
produksi perikanan multinasional tersebut masih mengandalkan hasil
tangkapan nelayan-nelayan tradisional di kawasan tersebut. Besarnya
permintaan pasar perikanan internasional, setidaknya telah memicu
dilakukannya modernisasi dalam kegiatan perikanan tangkap, dengan
introduksi penggunaan alat tangkap trawl (pukat harimau). Beriringan
dengan kebijakan Orde Baru yang menekankan peningkatan produktifitas
di berbagai sektor usaha. Meskipu keadaan tersebut mampu mendorong
munculnya kelas entrepreneur lokal dalam sektor perikanan tangkap yaitu;
ponggawa, namun keberadaan mereka masih sebatas sebagai suplayer,
kepanjangan tangan dari eksportir.
Munculnya Inpres No. 11/1982, yang melarang penggunaan
pukat harimau di seluruh Indonesia sejak 1Januari 1983, telah memicu
diberlakukannya kebijakan lokal yang memberikan kompensasi
pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pada para
nelayan lokal dan masyarakat di sekitar kawasan Delta Mahakam. Di
satu sisi kebijakan tersebut, dimaksudkan untuk mengantisipasi gejolak
dalam masyarakat, pasca pelarangan trawl. Sementara disisi lainnya untuk
152 Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang