Page 183 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 183

sebagian besar ponggawa yang berhasil tersebut adalah para migran yang
            datang belakangan, kondisi ini secara tidak langsung telah menciptakan
            disparitas ekonomi, sekaligus kecemburuan.

            6.1.1 Oportunisme dan Pragmatisme Migran Bugis
                Kecendrungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang ekonomi
            yang lebih baik dimanapun dan kapanpun tampaknya menjadi ciri khas
            yang tetap melekat dalam diri orang Bugis. Begitu kuatnya motif ekonomi
            dalam setiap mobilitas yang dilakukan orang Bugis, memberikan kesan
            bahwa peranan uang atau hartalah yang banyak menentukan nasib
            dan status seseorang. Sangat banyak ulama yang menganggap usaha
            memperkaya diri sebagai suatu kewajiban, sepanjang dilakukan secara
            jujur dan halal (sappa’ dalle’ hallala’), karena memungkinkan seseorang
            mampu membantu sesama yang kurang beruntung ( Pelras, 2006).
                Orang Bugis, bahkan mempertaruhkan  siri’-nya ketika merantau,
            mereka “merasa malu bila tidak bisa pulang untuk memperlihatkan bukti
            keberhasilannya di rantau”. Setelah meninggalkan tanah kelahirannya,
            kadangkala hingga bertahun-tahun mereka tidak kembali, hanya untuk
            mencari kekayaan hingga berhasil. Menjadi orang yang berharta,
            setidaknya juga menutup kemungkinan terjerumus menjadi Ata  dan
                                                                     19
            kehilangan  siri’. Dalam sejarahnya, nasib seorang Ata bahkan dapat
            dirubah seketika menjadi To Maradeka  hanya dengan membayar
                                                20
            sejumlah uang denda/tebusan.
                Lebih jauh,  Pelras (2006) bahkan menyebut para perantauan Bugis
            bukan sekedar petani tradisional, akan tetapi mereka adalah pengusaha
            berorientasi ekonomi. Berbeda dengan orang Jawa yang memiliki konsep
            keberhasilan yang diukur berdasarkan kemampuan untuk semakin
            memperluas sawah atau kebun guna mengintensifkan dan meningkatkan
            produk pertanian, para petani Bugis justru memiliki pemikiran jauh
            kedepan. Menurut  Tanaka (1986), jika petani Bugis memperoleh uang

            19. Budak/sahaya, bagi orang Bugis tidak ada  siri’ yang lebih memalukan dibandingkan
               terjerumus menjadi Ata.
            20. Kelompok masyarakat non elit/masyarakat kelas bawah/masyarakat ekonomi marginal,
               terutama dari kalangan orang kebanyakan dalam struktur feodal Bugis.


         156                      Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
   178   179   180   181   182   183   184   185   186   187   188