Page 184 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 184

yang cukup besar, mereka berencana menginvestasikan kembali uang itu
             dalam bidang lain, seperti transportasi, perniagaan atau menyewakan
             lahan kepada petani Jawa atau orang Bugis yang baru tiba dan selanjutnya
             mereka akan mencari tempat-tempat yang lebih menguntungkan. Bagi
             migran Bugis, sepertinya ikatan mereka dengan tanah yang dikuasainya
             hanyalah sebentuk “ikatan instrumental”, jika mereka menganggap
             tanah-tanah yang dikuasainya tidak lagi “menguntungkan”, mereka
             akan segera menyewakan ataupun jika dikalkulasi tidak rugi akan
             dijualnya dengan harga layak. Meskipun demikian, sejumlah migran
             Bugis diketahui enggan menjual tanah miliknya yang dianggap memiliki
             nilai historis tertentu.
                 Selanjutnya mereka akan berusaha mencari tanah-tanah yang lebih
             “menguntungkan” dan seringkali mengikuti jejak keberhasilan orang lain
             (meskipun berbeda etnis). Hal ini bisa dilihat dari kemampuan adaptasi
             para migran Bugis di Kelurahan  Muara Kembang dan Pendingin yang
             mampu mengadopsi kegiatan pertanian padi dengan sistem handil yang
             dikembangkan migran Banjar ataupun sistem perladangan berpindah yang
             dipraktekkan penduduk asli setempat (Kutai). Tidak berlebihan jika kelak,
             kegiatan perkebunan kelapa untuk  kopra yang memiliki harga menarik
             dipasaran ataupun perikanan tangkap bagang  yang baru diintrodusir
                                                     21
             dari luar pun dengan sangat antusiasnya mampu dikembangkan migran
             Bugis di sekitar kawasan Delta Mahakam. Selama usaha baru tersebut
             dianggap mampu memberikan keuntungan lebih baik.
                 Pragmatisme usaha yang ditunjukkan migran Bugis, juga terlihat
             dalam kegiatan budidaya tanaman coklat di Sulawesi Selatan (Mamuju,
             Polewali dan Luwu’) yang mengalami booming pada 1980-an. Menariknya
             banyak diantara mereka ternyata berasal dari Soppeng setelah berakhirnya
             boom tembakau. Penanaman coklat sepenuhnya bermula dari inisiatif

             21. Bagang adalah sebutan masyarakat lokal terhadap tempat penangkapan ikan, yang
                umumnya berupa pondokan sederhana di tengah laut dengan bentangan jaring
                dibawahnya. Cara kerjanya dengan memasang jaring dimalam hari, dibantu lampu-
                lampu yang sangat terang untuk memancing ikan agar berkumpul dan “bermain” di
                bawah bagang. Saat banyak ikan berkumpul barulah jaring di tarik ke atas, hingga
                ikan terperangkap.


             Tercerabut Atau Terakumulasi                                 157
   179   180   181   182   183   184   185   186   187   188   189