Page 208 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 208
yang cenderung menurun. Menyebabkan banyak area pertambakan
terlantar, karena tidak dikelola secara baik, bahkan ditinggalkan oleh
pemiliknya.
6.2.1 Fenomena “Absennya Negara”
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pengembangan
kegiatan pertambakan dengan mengkonversi hutan mengrove di kawasan
Delta Mahakam, dalam prakteknya nyaris tidak mengalami hambatan
hukum-birokrasi yang berarti, karena dilakukan dengan dukungan dari
Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah. Melalui berbagai kebijakan
yang pada hakekatnya ditujukan untuk “mengamankan” Program
Udang Nasional. Kebijakan pertanahan yang lebih dititikberatkan
pada upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang cepat tersebut,
selanjutnya ditujukan bagi pemenuhan kepentingan dan kebutuhan
pembangunan sektoral. Akibatnya fokus kebijakan pertanahan lebih
ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat
pelaksanaan pembangunan, karena pemerintah memandang peningkatan
pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting dibandingkan pelaksanaan
keadilan agraria ( landreform).
Hingga munculnya ketidakpastian hukum pasca berlakunya SK
Mentan bernomor 24/Kpts/Um/1983, yang membagi wilayah Kalimantan
Timur berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), dimana
kawasan Delta Mahakam hampir seluruhnya ditetapkan sebagai kawasan
hutan produksi. Di dalam ketidakpastian hukum inilah sejumlah petambak
lokal menemukan momentum untuk bangkit dan mengembangkan diri
sebagai penguasaha perikanan yang tangguh. Meskipun ketidakpastian
hukum atas area pertambakan yang dikelola masyarakat, dilain sisi juga
telah menyebabkan para petambak tidak memiliki legalitas penguasaan
atas lahan-lahan tambak yang digarapnya. Ketidakpastian status
kawasan hutan negara seperti itulah yang menurut Kartodiharjo dan
Jhamtani (2006) menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan alam dan
kegagalan pembangunan. Bahkan, seringkali permasalahan agraria yang
Tercerabut Atau Terakumulasi 181

