Page 39 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 39

Hubungan antara hutan dan penduduknya menjadi berbeda setelah
            keluarnya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
            Kehutanan (UU Kehutanan). Hutan selanjutnya ditetapkan, dipetakan,
            dibatasi dan diketegorisasikan. Penduduk dikawasan hutan dihitung
            dan dimasukkan dalam tabel resmi (Darmanto dan Setyowati, 2012),
            dimana negara mengklasifikasikan penduduk dan landscape, serta
            menjadikan mereka sebagai objek observasi dan sasaran intervensi. Hal
            ini memberikan alasan bagi negara untuk lebih mengontrol penduduk
            dan sumberdaya alam.
                Negara melakukan perencanaan penetapan wilayah berskala besar
            untuk menjelaskan daerah-daerah perlindungan, pengelolaan hutan dan
            alih fungsi, yang seringkali diabaikan atau bahkan dimanipulasi ( Chomitz,
            2007). Hak-hak masyarakat atas hutan-pertanian yang ditradisikan
            diabaikan dan berbagai perencanaan yang telah menjadi kebijakan tidak
            mampu mencegah berlangsungnya penggundulan hutan di daerah-daerah
            yang dilindungi. Akibatnya, 40 juta orang Indonesia hidup di daerah yang
            ditetapkan sebagai wilayah hutan tetapi kekurangan pohon (hutan tanpa
            pohon), di daerah dengan larangan pertanian (termasuk perikanan),
            tanpa adanya jaminan hak penguasaan lahan. Dalam sisi normatif negara,
            pengelolaan hutan, penanganan – pemanfaatan, hingga penguasaan
            hutan oleh masyarakat diabaikan. Seolah hanya warganegara yang
            memiliki kewajiban menjalankan fungsinya untuk patuh pada peraturan
            perundang-undangan. Negara, melalui otoritas kehutanan misalnya,
            membuat regulasi mengenai  KBK  dan  KBNK  tanpa memandang
                                                       4
                                           3
            keberadaan masyarakat lokal yang telah mendiami dan memanfaatkan
            kawasan hutan jauh sebelum kebijakan tersebut dibuat.




            3.  Kependekan kata dari Kawasan Budidaya Kehutanan, yang dalam wacana otoritas
               kehutanan dianggap sebagai kawasan terlarang untuk kegiatan apapun di luar aktivitas
               kehutanan. Aktivitas di dalam kawasan tersebut hanya boleh dilakukan jika telah
               mengantongi izin dari Menteri Kehutanan, jika tidak dapat dikategorikan sebagai
               kegiatan illegal/perambah hutan.
            4.  Kependekan kata dari Kawasan Budidaya Non Kehutanan, yang juga berarti kebalikan
               dari Kawasan Budidaya Kehutanan.


           12                     Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44