Page 40 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 40

Ironisnya, sejumlah studi mengenai praktik pengelolaan sumber daya
             alam menunjukkan, bahwa negara lebih berpihak pada bisnis ( private
             sectors) dari pada terhadap warganegara kebanyakan, dimana negara lebih
             bertindak sebagai pemungut rente ( Brown, 1999). Rente yang terkumpul
             di tangan negara, selanjutnya digunakan untuk menggerakan proses
             kapitalisasi (pembangunan) dengan mengembangkan sektor lain, baik
             industri ekstraksi sumber daya alam lainnya maupun sektor infrastruktur,
             pertanian, dan pendidikan ( Seda, 2001). Dengan cara seperti inilah
             diharapkan terjadi  trickle down effect. Namun dalam kenyataannya, orang
             atau kelompok orang yang memperoleh “kepercayaan” dari negara untuk
             mengelola modal (rente) dalam kas negara tersebut, membangun satu
             pola relasi kekuasaan dan kelembagaan yang menghalangi orang atau
             kelompok lain terhadap akses yang sama.
                 Akibatnya menurut  Blaikie (1985), kebanyakan sistem pengelolaan
             hutan di Dunia Ketiga, sebagaimana Indonesia telah gagal mengatasi
             kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa sistem
             pengelolaan hutan negara, bahkan memperparah kemerosotan hutan,
             sehingga memperparah kemiskinan penduduk desa yang tinggal di
             pinggiran hutan. Artinya keberadaan hutan negara telah menciptakan
             enclaves kemiskinan pada desa-desa di pinggir hutan. Seperti disinyalir
               Awang (2004) “pada 1994 sekitar 46 persen desa-desa miskin di Jawa
             berada di sekitar kawasan hutan negara”. Senada dengan hasil penelitian
               Purwanto, Dkk (2003) yang menemukan fenomena masyarakat desa
             miskin dan tertinggal di sekitar kawasan hutan Taman Nasional. Tidak
             berlebihan jika kemudian  Ishak (2003), menyebut peranan kehutanan
             untuk menggerakkan ekonomi nasional masih belum berhasil mengangkat
             ekonomi mikro, terutama ekonomi rakyat, sehingga dapat meningkatkan
             kesejahteraan masyarakat miskin di sekitar hutan dan kemampuan
             ekonomi daerah, serta kemampuan pelestarian hutan untuk terus
             mendorong perekonomian nasional.
                 Bagi  Peluso (2006), krisis hutan tropis sekarang ini bersumber
             pada kelembagaan yang tidak pas, khususnya lembaga-lembaga yang
             membawahi sistem akses dan penguasaan sumberdaya. Tidak ada satu



             Tanah Sebagai Sumber Kemakmuran                              13
   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45