Page 38 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 38
dalam mengakumulasi alat produksi berupa “lokasi” hutan mangrove.
Berkat “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”
meminjam istilah Mackie (1999), sejumlah ponggawa selanjutnya mampu
melakukan mobilitas ekonomi vertikal yang menggerakkan proses
diversifikasi usaha pertambakan yang semakin meluas, hingga munculnya
cold storage, hatchery, pabrik es, mini market, industri pengolahan/ekspor
udang dan seterusnya.
Pada gilirannya, kondisi tersebut tidak hanya menyumbang dalam
penyerapan tenaga kerja, namun juga memberikan sumbangan terhadap
pendapatan asli daerah, hingga menciptakan berbagai peluang usaha
ikutan dan memperbesar “perputaran uang” di aras lokal. Sebagai
“golongan sosial strategis”, para ponggawa juga menjadi kekuatan sosial
potensil dalam transformasi sosial tidak hanya bagi migran Bugis, tapi
juga masyarakat lainnya di kawasan Delta Mahakam. Dari masyarakat
perikanan tradisional menuju masyarakat industri (perikanan).
Demikianlah, meskipun tidak didukung legalitas kepemilikan tanah yang
mampu memperkuat kedudukan tanah bagi rakyat, namun pemanfaatan
sumberdaya agraria yang dianggap “ilegal” tersebut, terbukti memberikan
kemakmuran.
1.2 DILEMA KEBIJAKAN KEHUTANAN
Sebagaimana disinyalir Hall, et all (2011) berbagai kebijakan
dalam sistem pengelolaan hutan, ternyata setiap harinya tidak hanya
menyebabkan tercerabutnya hak masyarakat ( dispossession) atas klaim
terhadap kawasan hutan yang telah mereka tradisikan, namun juga
mendorong terjadinya akumulasi alat produksi dan kapital pada sejumlah
pihak yang diuntungkan dengan beroperasinya kebijakan tersebut.
Setidaknya menurut catatan World Bank, berbagai dilema kebijakan
kehutanan di Indonesia mulai terjadi sejak rezim Orde Baru berkuasa.
Ketika otoritas kehutanan saat itu melakukan klaim atas kawasan
hutan yang menurut Chomitz (2007), mencakup sekitar tiga perempat
luas negara, mengambil alih hak-hak masyarakat tradisional atas hutan-
hutan mereka.
Tanah Sebagai Sumber Kemakmuran 11