Page 36 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 36
sama dan bukan terbatas hanya pada individu-individu, maka wawasan
kritis berpeluang untuk disebarkan. Hasilnya, sebagaimana dikutip Li
(2007) dari Gavin Smith, akan melahirkan kelompok sosial yang mampu
mengenali kepentingan bersama dan melakukan penggalangan demi
mengubah keadaan mereka. Kolektivitas semacam itu mengandung
retakan gender, etnik dan kelas tersendiri. Ruang pertemuan dengan
program pembangunan pemerintah akan membentuk dasar bagi
gagasan-gagasan dan aksi-aksi politik mereka. Sebagai “keterbalikan
strategis”, dalam relasi kekuasaan, ketika diagnosa tentang kekurangan
dan keterbelakangan yang dipaksakan dari atas “diambil alih” menjadi
tuntutan yang seolah-olah dari bawah, didukung rasa memiliki hak.
Di dalam kegiatan illegal logging, Tsing (2005), dengan sangat menarik
menggambarkannya sebagai frontiers; jalan logging yang menghubungkan
antara legal dan illegal dari pekerja lokal dan pendatang dengan
kebutuhan kayu dunia. Di jalan itu korporasi besar melegalkan kayu-
kayu yang illegal. Frontiers merupakan pemudaran peraturan (deregulated)
yang dilakukan oleh mitra yang absah bersama dengan yang tidak absah.
Pada gilirannya akan menyebabkan perubahan pada peraturan-peraturan
yang memungkinkan mereka memperoleh laba ekonomi yang baru secara
berlebihan. Semua ini berlangsung dalam ruang antara ( interstitial space)
dua kutub biner seperti legal dan tidak legal, privat dan publik, hukum
dan pelanggaran. Di dalam ruang antara dua kutub inilah kemudian
kebudayaan (culture) menjadi maju dan berkembang, diproduksi dan
direproduksi, gagasan mengenai kapitalisme, globalisasi dan imperialisme
berkembang dan ditanamkan – termasuk perlawanan ( encountering)
atasnya. Pilihan arahnya ditentukan melalui proses tawar-menawar,
negosiasi dan renegosiasi antar dua kutub biner tersebut. Negara –
Pengusaha, Warganegara – Negara, Pengusaha – Warganegara, yang
berlangsung dalam proses-proses yang sangat kreatif.
Kapitalisme dalam artian frontiers seperti itu menurut Adri (2007),
selalu berusaha mencari ruang kosong diantara dua ruang yang saling
berlawanan ini, sehingga legalitas atau illegalitas bukan persoalan utama
sepanjang dia mendatangkan laba dan akumulasi modal. Sebagaimana
Tanah Sebagai Sumber Kemakmuran 9