Page 37 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 37
yang terjadi di kawasan Delta Mahakam, dimana kegiatan “pertambakan
ilegal” berlangsung di dalam ruang antara yang memungkinkan
terjadinya proses kebangkitan “ekonomi lokal” oleh para ponggawa
1
2
(lihat Lenggono, 2012). Proses tersebut berawal dari kegiatan usaha
pertambakan yang berlangsung diatas tanah-tanah negara. Ketika hutan
mangrove, sebagai lokasi kegiatan pertambakan yang berlimpah, namun
tidak memiliki nilai intrinsik, tidak dikelola secara memadai oleh otoritas
yang berwenang. Berhimpitan dengan kepentingan pragmatis pemerintah
dalam meningkatkan produksi udang nasional yang semakin menurun
pasca pelarangan trawl pada 1982.
Di dalam situasi seperti inilah hutan mangrove di kawasan Delta
Mahakam dikorbankan untuk pengembangan kegiatan budidaya
pertambakan udang. Hingga terjadi proses pendistribusian secara massal
area hutan mangrove yang menjadi alat produksi kunci dalam kegiatan
budidaya pertambakan oleh otoritas lokal pada sejumlah pihak (khususnya
ponggawa). Realitas yang kelak menempatkan sejumlah ponggawa dengan
dukungan kuat modal finansial dari perusahaan eksportir dan memiliki
hubungan dekat dengan otoritas lokal, memiliki kesempatan lebih besar
1. Ekonomi lokal merupakan hasil adaptasi dari beroperasinya sistem kapitalisme diaras
lokal (berwajah solidaritas), dengan basis hubungan produksi patronase yang mampu
mendorong kesadaran kolektif bagi terbentuknya lumbung kesetiakawasan sosial,
dimana nilai-nilai solidaritas yang dihayati para pelaku dalam sistem ekonomi lokal
jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Di dalam tulisan ini “ekonomi
Lokal” didefinisikan sebagai suatu bangunan ekonomi hybrid yang mampu menopang
tumbuh-kembangnya ekonomi sebuah masyarakat pada suatu wilayah berkarakteristik
khas dan berakar pada kekuatan sosio-kultural dengan memanfaatkan semua komponen
sumberdaya lokal secara efesien.
2. Ponggawa merupakan sebutan yang biasa digunakan masyarakat Bugis di pantai
timur Kalimantan untuk memanggil seorang pemilik modal yang mengumpulkan
dan membeli hasil produksi perikanan (tangkap maupun budidaya). Biasanya mereka
juga pemilik aset produksi (menguasai hamparan tambak yang luas dan sarana
produksi), selain memberikan pinjaman saprotam serta modal usaha dalam bentuk
fasilitas/materi bagi klien mereka. Secara historis para pengusaha pertambakan (baca:
ponggawa) lahir dari sebuah lingkungan yang khas, sebagian terbesar tumbuh dari
kegiatan ekonomi di Kawasan Budidaya Kehutanan (baca: KBK) yang “terlarang”
bagi kegiatan diluar sektor kehutanan, mengakumulasi kekayaan melalui monopoli
produksi raw material.
10 Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang