Page 58 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 58

Kondisi demikian, menurut Zweger terus berlanjut, akibat
             “ketidakmampuan  Kesultanan Kutai untuk menghentikan kekacauan
             dalam pemerintahan, mengamankan kepentingan umum dan menjalankan
             ketentuan-ketentuan politik kontrak dengan lebih baik; karena mereka
             tidak dapat mempergunakan kekuatan militer, alat perlindungan
             lainnya pun bahkan tidak mereka miliki”. Selain karena minimnya alat
             kekuasaan Pemerintahan  Hindia  Belanda yang ditempatkan di pantai
             timur Kalimantan. Menariknya, aktifitas perompakan dan penjarahan
             yang marak dilakukan di sepanjang pantai timur Kalimantan oleh bajak
             laut dari  Jolo dan Sulu, ternyata juga dipraktekkan oleh orang Dayak dan
             Kutai di sepanjang Sungai Mahakam. Yang dalam sejarahnya, praktek
             tersebut ingin dihindari oleh  Aji Dipati Tua, dengan memindahkan pusat
             pemerintahan Kerajaan Kutai dari Kutai Lama ke Jembayan.
                 Baru ketika, tausok dari  Jolo dan Sulu secara berangsur-angsur
             menarik armadanya dari selat Makassar bagian selatan, orang-orang Bugis
             mulai mengisi kekosongan tersebut, terutama dipertengahan abad-19.
             Meskipun taosug dari  Jolo dan Sulu tetap melanjutkan dominasinya
             dibagian utara jalur selat Makassar, orang-orang Bugis memperluas
             cakupan pengaruhnya di Selatan. Mereka mengontrol titik-titik masuk
             di Sungai Mahakam sampai tingkatan tertentu, hingga penandatanganan
             perjanjian dengan pemerintah kolonial  Belanda, dimana perjanjian
             tersebut memperkenankan  Kesultanan Kutai mendapatkan kembali
             kekuasaan sebagai penguasa syahbandar pelabuhan  Samarinda dari
             kelompok ponggawa-ponggawa Bugis. Penguasa di  Samarinda saat itu
             adalah  Aru Panekki dari  Wajo, yang setelah penetapan penggantinya  Pua
             Adu sebagai  Syahbandar  Samarinda kembali ke  Wajo untuk mengatur
             persekutuan dengan  Goa dalam menghadapi  Kerajaan Bone.
                 Jika mengacu pada laporan diatas, maka diduga komunitas Bugis
             telah menetap dikawasan pulau-pulau di Delta Mahakam, menjelang
             pertengahan abad-19, sesaat sebelum pemerintah  Hindia  Belanda
             menaklukkan kerajaan Kutai Kartanegara pada 1844. Dugaan tersebut
             diperkuat dengan peristiwa penyerangan dua kapal milik petualang
               Inggris,  James Erskine Murray yang kemudian tertembak mati, serta



             Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal                       31
   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63