Page 68 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 68
Kesultanan Kutai pada 1844. Di dalamnya diatur hak kuasa atas tanah
diwilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, sekaligus menegaskan secara legal
formal bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara sebagai penguasa tunggal atas
“dusun, kampung, negeri dan teluk rantau”, dimana raja dikukuhkan
sebagai penguasa di seluruh teritorial kerajaan.
Hal ini sekaligus menjadi pembenar apa yang dikemukakan Tauchid
(1952), bahwa sejak jaman raja-raja di Nusantara berkuasa, hampir semua
hukum tanah berdasar sistem feodal, dimana segala isi negeri (terutama
tanah) adalah milik mutlak sang raja. “Tanah dikuasai raja dan rakyat
yang mengerjakan dengan kewajiban menyerahkan hasilnya”, akibatnya
rakyat menjadi alat untuk kekuasaan dan kehormatan sang raja.
“Perbudakan” model ini memposisikan raja sebagai wakil Tuhan di dunia,
yang memberikan perlindungan dan rakyat diharuskan mengabdi pada
raja sebagai bentuk pengabdiannya pada Tuhan dengan menyerahkan
“bakti”. Raja mempunyai hak monopoli atas seluruh wilayah Kerajaan
Kutai Kartanegara, dalam hal ini termasuk monopoli atas semua gua
sarang burung, penggalian emas dan intan, serta pengambilan hasil-hasil
hutan ( Amin, 1979).
Setidaknya pada masa berlakunya UUD Panji Selaten dan UU
Beraja Nanti, status tanah di Kerajaan Kutai Kartanegara dapat di
bagi dalam lima kategori ( Sosronegoro, 1945 dalam Rachim, 1995). 1)
Tanah Pengempoean, yaitu tanah milik sultan yang dipusakai secara
turun temurun. 2) Tanah Limpah Kemoerahan, yaitu; a). Tanah yang
dihadiahkan dengan surat raja (cap kuning) pada suku bangsa tertentu
sebagai balas budi atas jasa-jasa yang mereka berikan pada kerajaan. b).
Tanah yang dihadiahkan pada seseorang secara pribadi karena jasanya,
dimana tanah tersebut dapat diwariskan. 3) Tanah Tajaran, yaitu tanah
untuk perkebunan atau ladang yang menjadi milik kerajaan, jika diatasnya
tidak terdapat ’tajar’ bahwa tanah tersebut sudah digarap seseorang. 4)
Tanah Hoema, yaitu tanah perladangan yang dikerjakan penduduk
kampung, jika selama tiga musim tanaman padi di tanah tersebut tidak
dikerjakan, maka ia menjadi milik kerajaan dan boleh diserahkan pada
penduduk kampung lain yang meminta izin untuk mengerjakannya.
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal 41