Page 65 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 65
Pendistribusian dan penguasaan hutan mangrove
pada para ponggawa besar oleh Petinggi Kampung,
menjadikan para ponggawa sebagai “pusat regulasi”
pertanahan di aras lokal. Para ponggawa selanjutnya
mendistribusikan tanah-tanah tersebut pada para
petambak yang menjadi kliennya masing-masing
dengan sejumlah persyaratan yang bervariasi.
Aktifitas ekonomi utama masyarakat sebagian besar
masih sebagai nelayan tangkap, namun sebagian
mulai bergeser menjadi petambak tradisional.
Konversi hutan mangrove untuk kegiatan
pertambakan mulai marak dilakukan
Sumber-sumber mata air (payau) mulai tidak layak
dikonsumsi
1991 – Eksploitasi Sejak 1990-an excavator mulai menggantikan
2002 yang semakin tenaga manual dalam pembukaan tambak
cepat dan tidak Kegiatan perkebunan kelapa dan penangkapan
terkendali ikan yang semakin menurun produksinya, memicu
pengembangan tambak-tambak baru
Tambak pertama di Tani Baru mulai di buka pada
1992 – 1993, pada tahun 1995 para migran mulai
membuka tambak tanpa kendali
Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran
untuk kegiatan pertambakan mencapai puncaknya
ketika terjadi krisis ekonomi regional pada 1997-
1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar
terhadap rupiah sehingga terjadi “ boom udang”.
Kondisi ini memicu terjadinya “ledakan penduduk”
di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang
yang ingin mencoba peruntungan di sektor
perikanan budidaya
Terjadi proses aristokratisasi pertambakan yang
menggerakkan kapitalisme lokal dalam bentuk
diversifikasi usaha yang semakin meluas (munculnya
cold storage, hatchery, pabrik es, mini market, industri
pengolahan/eksportir, dst)
Ironisnya sebagian besar punggawa yang berhasil
adalah para migran yang datang belakangan, kondisi
ini secara tidak langsung menciptakan disparitas dan
marjinalisasi pada petambak kecil
Aktifitas ekonomi utama masyarakat bergeser
sebagai petambak tradisional dan penjaga empang.
38 Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang