Page 70 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 70

kosong atau telah ditinggalkan oleh penggarapnya sampai berpuluh-puluh
             tahun hingga sudah menjadi hutan rimba kembali.

             3.2.1 Pra-Kemerdekaan: Kesejahteraan Bagi Kaum Aristokrat
                   Lokal dan Kolonial
                 Pasca penaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara oleh Pemerintah
             Kolonial  Hindia  Belanda pada 11 Oktober 1844 M, kebijakan atas
             pertanahan yang muncul kemudian merupakan produk campur tangan
             pemerintahan kolonial. Satu tahun setelah penaklukkan,  Sultan Sulaiman
             mengeluarkan maklumat yang berbunyi: ”Segala tanah dan isinya seperti
             hasil hutan, pedulangan atau segala hasil dalam tanah dan di atas tanah
             yang ada dalam watas Kerajaan Kutai atau barang-barang yang menjadi
             peninggalan orang dahulu, yang terdapat dalam tanah yang disebut
             khazanah, semuanya seperti yang tersebut menjadi milik Kerajaan Kutai
             Kartanegara ing Martapura beserta rajanya”. Artinya tidak seorangpun
             yang boleh mengambilnya, jika tidak dengan perkenan atau titah sultan
             yang memerintah Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura ( Amin,
             1975). Kebijakan ini menjadi dasar pijakan bagi Pemerintahan Kolonial
               Belanda sebagai yang dipertuan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara untuk
             melakukan hegemoni penguasaan pertanahan atas daerah jajahan.
                 Hal tersebut dilakukan pemerintah kolonial untuk menjamin
             kelancaran investasi modal-modal partikelir, khususnya dari  Belanda
             dan sekaligus untuk membenarkan tindakan mereka dalam menguasai
             seluruh tanah di wilayah jajahan. Kondisi ini diperkuat dengan ditanda-
             tanganinya Lange contract antara penguasa Kerajaan Kutai,  Sultan
             Sulaiman dan  Everard Christian Frederick Happe, residen Kalimantan
             yang mewakili Pemerintah  Hindia  Belanda pada 17 Juli 1863. Sekaligus
             menandai dimulainya  pemerintahan swapraja di daerah ini, yang
             kemudian dikenal dengan sebutan  Landschap Kutai. Pemerintah  Hindia
               Belanda kemudian membuat suatu dasar hukum, yang terkenal dengan
             istilah ” domeinler” yang tercantum pada Pasal 1  Agrarisch Besluit
             (1870), sehingga terbukalah kesempatan bagi pemerintah kolonial  Hindia






             Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal                       43
   65   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75