Page 71 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 71

Belanda untuk menguasai tanah-tanah, diluar yang sungguh-sungguh
            dipakai oleh rakyat.
                Jelasnya, dengan dicantumkannya ” domeinler” di dalam  Agrarisch
            Besluit itu pemerintah kolonial menjadikan dirinya sebagai pemilik
            mutlak atas tanah jajahan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
            pemberlakuan politik pintu terbuka, yang banyak memasukkan modal
            asing, termasuk modal dari  Belanda di tanah jajahan. Namun demikian,
              Agrarische Wet belum diberlakukan di luar pulau Jawa dan Madura,
            sehingga sejumlah perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah
              Kesultanan Kutai Kartanegara pada masa itu, harus meminta izin atau
            konsesi dari Sultan. Akibatnya di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara,
            hukum tanah bersifat dualistis, yaitu; terdapat wilayah-wilayah yang
            status tanahnya dikuasai hukum  Eropa dan hukum adat (kesultanan).
                Hak atas tanah bagi modal partikelir di daerah pemerintahan
            tidak langsung dinamakan  concessie dan untuk daerah pemerintahan
            langsung disebut  erfpacht. Hak  concessie pernah diberikan  Aji Sultan
            Muhammad Sulaiman pada 1882 untuk kegiatan penambangan batu
            bara yang dilakukan pemerintah  Hindia  Belanda selama 75 tahun. Juga
            diberikan pada  J.H. Menten pada 1889 untuk kegiatan eksploitasi minyak
              Sanga-Sanga dan  Mathilda  Balikpapan. Pada tahun 1902, Sultan juga
            memberikan konsesi penambangan minyak kepada  Koetei Exploratie
            Maatscappij (KEM). Pemberian konsesi penambangan minyak masih
            berlangsung terus hingga tahun 1922.
                Seiring dengan masuknya modal-modal partikelir yang membutuhkan
            hamparan tanah luas, pemerintah kerajaan mulai memungut pajak upeti
            pada rakyat serta daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Padahal
            sebelumnya pihak kerajaan hanya memungut pajak dan cukai “puluhan”
            dari pada pedagang, dengan memungut sepersepuluh persen dari barang-
            barang yang dibawanya. Namun dalam perkembangannya pajak yang
            dipungut kerajaan ternyata juga meliputi; uang kepala, sewa tanah,
            pajak perahu, serta pajak penghasilan (intan/emas). Meskipun saat itu
            penghasilan yang diperoleh kerajaan sudah sangat besar, berupa; gaji dari
            landschap Kutai, cukai dari hasil tanah milik pribadi sultan yang sangat



           44                     Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76