Page 72 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 72

luas, hasil penjualan sarang burung milik sultan, ganti rugi penguasaan
               Mahakam Hulu dan  Vierkante-Pall  Samarinda oleh Pemerintah  Hindia
               Belanda, juga cukai hasil hutan, pungutan barang-barang perdagangan,
             serta cukai tambang batu bara dan royalti minyak BPM ( Bataafsche
             Petroleum Maatschapij).
                 Dari berbagai aktifitas pertambangan, kerajaan memperoleh
             keuntungan finansial yang luar biasa besarnya, sampai dengan tahun
             1899 Sultan Kutai Kartanegara secara pribadi menerima penghasilan bagi
             hasil sebesar f. 2.000.000,-, belum termasuk hasil dari pungutan pajak
             ( Magenda, 1994). Kondisi tersebut terjadi seiring ditemukannya minyak
             di  Sanga-Sanga (kawasan Delta Mahakam) dan lapangan  Mathilda
               Balikpapan oleh  J.H. Menten yang mendapatkan konsesi pada 1889 dari
               Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Sejak saat itu keberadaan kawasan
             Delta Mahakam mulai dirasakan nilai manfaatnya oleh elit penguasa
             lokal saat itu.
                 Situasi sejahtera tersebut, menurut  Megenda (1994) memungkinkan
             para aristokrat Kutai Kertanegara memiliki standar kehidupan yang
             lebih tinggi dari aristokrat-aristokrat manapun di Nusantara bahkan dari
             orang-orang  Eropa sekalipun. Dengan cara demikian  Kesultanan Kutai
             Kertanegara memperoleh legitimasi dimata kerajaan-kerajaan yang telah
             ada sebelumnya, serta aristokrat-aristokrat di Jawa dan daerah lainnya
             di Nusantara. Namun ironisnya penghasilan yang diperoleh kerajaan
             tersebut menurut  Amin (1975), sepenuhnya hanya dipergunakan untuk
             kesejahteraan pribadi raja beserta keluarganya. Hal ini dapat dilihat
             dari pembangunan istana yang indah dan modern di Kota  Tenggarong,
             diadakannya perayaan erau setiap tahun untuk menyanjung-nyanjung
             kemegahan keluarga raja, serta melakukan ‘pesta’ bersama pejabat-
             pejabat Pemerintah kolonial  Hindia  Belanda. Kelak berbagai realita
             tersebut akan menjadi salah satu penyebab ”ketidaksenangan” rakyat
             yang mengkristal menjadi sebuah penolakan atas kembalinya model
             pemerintahan  Swaparaja (feodal) di Kutai.
                 Ironisnya pemerintahan yang berlangsung saat itu tidak disokong
             lapisan aparatus yang menyebar dan dapat menjangkau seluruh lapisan



             Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal                       45
   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76   77