Page 77 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 77
Balatentara”. Di dalamnya diatur ketentuan, bahwa balatentara Jepang
untuk sementara waktu menjalankan pemerintahan militer di daerah-
daerah yang didudukinya, dimana wilayah Kalimantan Timur di
kendalikan oleh Pemerintah Militer Angkatan Laut (Armada Selatan
ke-2) yang berkedudukan di Makassar. Namun demikian, semua badan
pemerintah dengan kekuasaannya, serta hukum dan perundang-undangan
produk Pemerintah Hindia Belanda untuk sementara waktu tetap diakui
sah, selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer
Jepang. Pada prinsipnya Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan
politik “mengabdi pada kepentingan perang”, termasuk di dalam
melaksanakan kebijakan pertanahan di daerah pendudukan.
3.2.2 Pasca-Kemerdekaan: Totalitas Hak Menguasai Negara
Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945, daerah-daerah Swapraja warisan pemerintah kolonial
Hindia Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang, masih mendapatkan
tempat di dalam UUD 1945. Di dalam Bab IV, Pasal 18 disebutkan
bahwa; ”Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil, dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,
dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan sistem
pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat
istimewa”. Berdasarkan ketentuan tersebut, semua daerah Swapraja yang
belum/tidak dihapuskan oleh pemerintah pendudukan Jepang, dianggap
tetap berlangsung berikut peraturannya.
Pemerintah kolonial Belanda dalam usahanya untuk mengembalikan
sistem penjajahannya di Indonesia, melakukan berbagai macam upaya,
baik dengan aksi-aksi militer maupun politik memecah belah. Van Mook
melalui konfrensi Malino (Juli 1946), Pangkal Pinang (Oktober 1946)
dan Denpasar (Desember 1946), berhasil membentuk negara-negara
boneka, termasuk Negara Federasi Kalimantan Timur (FKT) melalui
wadah Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur (DGKKT).
Dewan ini terdiri dari Swapraja Kutai, Bulungan, Sambaliung, Gunung
Tabur dan Neo Swapraja Pasir, dengan Aji Muhammad Parikesit (Sultan
50 Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang