Page 81 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 81
terhadap feodalisme ini, berlangsung berbarengan dengan aksi konfrontasi
dengan Malaysia.
Masyarakat melalui penguasa-penguasa setempat seperti camat
dan petinggi/kepala kampung pun diwajibkan mengerahkan funds and
forces-nya, untuk mensukseskan jalannya revolusi. Seperti menyediakan
alat-alat pengangkutan, tenaga, serta kesediaan untuk selalu menghadiri
rapat-rapat raksasa/akbar, ceramah-ceramah/indoktrinisasi dan
seterusnya. Di bidang administrasi kedaerahan banyak ditunjuk
pemimpin-pemimpin yang lebih banyak menonjolkan kekerasan dan
kekuasaan daripada kebijakan yang berdasarkan hukum, kebijakan
pertanahan pun mengalami couptasi. Menurut Soetoen (1975), “pada
masa itu seorang bupati dapat diperintah oleh seorang sersan, demikian
juga seorang camat yang tidak mampu melaksanakan tugas revolusi dapat
diganti begitu saja”.
Baru pada 1967 ketika rezim Orde Baru berkuasa, kondisi
pemerintahan di Kabupaten Kutai mulai berjalan lebih kondusif. Pada
masa tersebut muncul gagasan pemekaran wilayah, untuk mengantasipasi
sulitnya pelaksanaan pembangunan, serta pengawasan dan pembinaan
daerah, akibat luasnya wilayah Kebupaten Kutai. Berdasarkan resolusi
DPRGR bernomor 5/Res/DPRGR/KK/1967, Kabupaten Kutai pernah
diwacanakan dibagi menjadi tiga, Kabupaten Kutai (induk) dengan
ibukota Tenggarong, Kabupaten Ulu Mahakam dengan ibukota Barong
Tongkok dan Kabupaten Pantai yang wilayahnya meliputi kawasan
Delta Mahakam dengan ibukota Samboja. Meskipun gagasan tersebut
dimentahkan Gubernur Kalimantan Timur yang waktu itu baru dijabat A.
Wahab Syahranie, yang lebih memilih mengoptimalkan peranan daerah
Kotamadya Samarinda dan Balikpapan, sehingga dapat melaksanakan
otonomi seluas-luasnya sesuai Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966. Namun
ide tersebut hingga saat ini masih terus ”berkobar”, mewujud dalam
tuntutan pemekaran Kabupaten Kutai Pantai yang wilayahnya juga
meliputi sebagian besar kawasan Delta Mahakam.
Atas dasar pengoptimalan peranan daerah Kotamadya Samarinda
dan Balikpapan, dikeluarkanlah SK Gubernur Kalimantan Timur No. 55/
54 Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang