Page 84 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 84
Di dalam prakteknya keberadaan UU No. 5 Tahun 1967, telah
menyebabkan pemerintah daerah di Kalimantan Timur menikmati
desentralisasi kewenangan pengelolaan hutan. Kala itu peraturan
perundangan membolehkan Gubernur dan Bupati menerbitkan konsesi
kayu dengan luas tidak melebihi 5.000 Ha. Sementara pemerintah pusat
berwenang menerbitkan konsesi dengan luas 5.000 Ha s/d 10.000 Ha.
Karena prosedur untuk mendapatkan konsesi hutan dari pemerintah
pusat lebih sulit daripada yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati,
dalam prakteknya kegiatan penebangan kayu lebih banyak yang
menggunakan izin dari pemerintah daerah ( Simarmata, 2008). Besarnya
skala penebangan kayu melalui skema ini tidak lepas dari banyaknya
penyimpangan dalam prakteknya. Konsesi lebih banyak diberikan kepada
keluarga dekat para Gubernur dan Bupati. Namun demikian, sejumlah
penduduk lokal yang tinggal di sekitar dan dalam hutan, walau hanya
mendapatkan izin dari Camat, sudah berani menebang kayu di hutan
( Magenda 1991).
Kebijakan Dirjen kehutanan yang didasarkan atas pertimbangan,
“pengusaha besar maupun kecil harus diberikan kesempatan yang
sama, sesuai dengan kekuatannya masing-masing”, setidaknya ikut
memperparah terjadinya penyimpangan yang terjadi. Ketika luasan area
hutan yang dieksploitasi di setiap propinsi, 70 – 80 persen diberikan
kepada pengusaha besar sebagai konsesi dan 20 – 30 persen diberikan pada
pengusaha kecil, dengan izin tebang dan persil tebangan ( Dephut, 1986).
Setidaknya menjelang tahun 1970 di Kabupaten Kutai telah beroperasi
272 unit perusahaan (kappersil) dengan luas area penguasahaan mencapai
368.650 Ha, belum termasuk izin pengusahaan hutan seluas 497.600 Ha
yang dikeluarkan Gubernur Kalimantan Timur ( Soetoen, 1975).
Kondisi inilah yang kemudian memicu munculnya fenomena
penebangan kayu secara massal dan dapat dilakukan oleh siapapun
dengan moda produksi tradisional, yang oleh masyarakat Kalimantan
Timur dikenang sebagai masa banjirkap. Dimana penduduk menebangi
kayu di dalam hutan, lalu menumpuknya di tepi sungai pada musim
kemarau dan menghanyutkan kayu-kayu bundar tersebut ke log pond
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal 57