Page 80 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 80
Sejak saat itu, hukum pertanahan di Kutai Kartanegara mengacu
kembali pada rumusan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, bahwa; ”Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Konsepsi inilah yang kemudian disebut sebagai Hak Menguasai Negara,
yang menjadi dasar perumusan UUPA 1960. Di dalam kebijakan
pertanahan, “Hak Menguasai Tanah” menjadi hak tertinggi yang
dikenakan terhadap tanah melebihi hak apapun, termasuk hak milik.
UUPA memberi kewenangan yang kuat dan sangat luas pada Negara
melalui ”Hak Menguasai Negara”, seperti dinyatakan UUPA. Meskipun
telah menghapuskan asas domein, UUPA masih memberikan kekuasaan
yang besar dan wewenang yang sangat luas bagi Negara untuk mengatur
alokasi atas sumber-sumber agraria. Akibatnya eksistensi hak-hak rakyat
atas sumberdaya agraria dan kebijaksanaan alokasi sumberdaya alam
menjadi sangat tergantung pada suasana politik-hukum dan kepentingan
Negara (kekuasaan).
Panasnya situasi politik pada dasawarsa 1960-an di Indonesia,
ternyata juga mengimbas pada kehidupan politik dan pemerintahan di
Kalimantan timur. Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman,
sebagai pemilik otoritas tertinggi pada masa darurat perang di Propinsi
Kalimantan Timur, melakukan banyak intervensi terhadap kegiatan
pemerintahan daerah. Pada masa itu banyak pejabat daerah yang
berseberangan dengan kebijakan Penguasa Perang Daerah (Peperda)
dijebloskan ke rumah tahanan, diantaranya adalah Bupati Kutai pertama,
Aji Raden Padmo beserta keluarganya yang dituduh bekerjasama dengan
subversif asing. Sikap Suhardjo sebagai Panglima Komando Daerah
Militer IX/Mulawarman yang anti feodalisme tersebut, dimanfaatkan oleh
Front Nasionalis yang berhasil mengorganisir massa untuk melakukan
penghancuran terhadap Keraton Kutai di Tenggarong. Akibatnya sebagian
besar patung-lambang kesultanan, gambar-gambar sultan beserta pakaian-
pakaian kebesarannya dibakar, tiang bendera kerajaan yang tingginya
30 meter ikut dirobohkan ( Soetoen, 1975). Peristiwa pengganyangan
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal 53