Page 319 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 319
Keistimewan Yogyakarta
tetapi terus berlanjut, terutama dalam penyempurnaan penge-
lolaan anggaran keuangan. Pemerintah desa pun tidak luput
dari pembenahan dan reorganisasi. Status kewarganegaraan
penduduk dipertegas dengan membedakan antara warga negara
(kawulo kerajaan/kadipaten) dan bukan warga negara (kawulo
gubernemen).
Selain perhatiannya dalam dunia pemerintahan dan eko-
nomi, perhatian Paku Alam VII juga tertuju pada kesenian. Page-
laran wayang orang berkembang dengan baik pada masanya.
Dalam kesempatan menerima tamu-tamu dari luar negeri PA
VII acapkali menjamu mereka dengan wayang orang dan beksan
(tari-tarian klasik). PA VII mengizinkan sekolah-sekolah berdiri
di daerah Adikarto, serta mengadakan sebuah lembaga beasiswa
untuk menjamin kelanjutan studi bagi yang tidak mampu me-
lanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.
Pada 5 Januari 1909 Paku Alam VII menikah dengan GBRA
Retno Puwoso, Putri dari Pakubuwono X, Sunan Surakarta. Selu-
ruh putra-putri beliau ada 7 orang. Ketika putra mahkota ber-
kunjung ke Nederland untuk menghadiri pesta perkawinan Putri
Mahkota Belanda Juliana dan Pangeran Bernard, Paku Alam VII
mangkat. Beliau berpulang pada 16 Februari 1937 dan dima-
kamkan pada 18 Februari tahun yang sama di Girigondo
Adikarto.
PA VIII: BRMH Sularso Kunto Suratno, lahir di
Yogyakarta, 10 April 1910, adalah Raja Paku Alaman VIII yang
diangkat sebagai KPH Prabu Suryodilogo pada 4 September 1936.
Pendidikan yang ditempuh adalah Europesche Lagere School
Yogyakarta, Christelijk MULO Yogyakarta, AMS B Yogyakarta,
Rechts Hoogeschool (sampai candidaat). Pada 13 April 1937 ia
naik tahta sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu
Suryodilogo menggantikan mendiang ayahnya. Setelah keda-
tangan Bala Tentara Jepang di tahun 1942 beliau mulai meng-
gunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam
VIII.
Pada 19 Agustus 1945 bersama Hamengku Buwono IX, Paku
296