Page 125 - Mereka yang Dikalahkan, Perampasan Tanah dan Resistensi Masyarakat Pulau Padang
P. 125
100 M. Nazir Salim
melainkan di luar pemukiman tinggal. Di luar rumah lah kebun-
kebun sagu dan karet dibangun, sementara pohon kelapa dan
sayuran ditanam di sekitar rumah karena lebih mudah penjagaannya,
terutama menjaga dari serangan hewan seperti monyet, lutung, dan
babi yang menjadi musuh utamanya. Jika tidak dijaga akan dengan
mudah hewan-hewan itu memangsanya. Sementara pohon sagu
dan karet relatif tidak memiliki musuh, sehingga jauh lebih aman
sekalipun jauh dari rumah tinggal.
Semua warga yang penulis temui saat berkunjung ke Pulau
Padang mengisahkan, bahwa tanah-tanah yang mereka diami
terutama lahan tinggal diperoleh dengan cara membuka hutan.
Orang tua mereka dan kakek neneknyalah yang dahulu berjasa
membuka hutan-hutan di Pulau Padang yang akhirnya menjadi
perkampungan dan lahan untuk bercocok tanam. Hanya generasi
saat ini saja setelah hutan tidak ada lagi yang perolehan lahannya
dengan cara membeli kepada pihak-pihak yang memiliki lahan luas,
membeli alas dan belukar (hutan yang sudah ditebang dan siap
untuk ditanami pohon karet maupun sagu).
Orang-orang yang saat ini mendiami Pulau Padang sudah
masuk generasi ketiga, bahkan ada yang sudah melahirkan generasi
keempat. Artinya, nenek moyang mereka sudah masuk ke Pulau
Padang jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka menempati
tanah-tanah yang sah sesuai hukum yang ada di Indonesia, mereka
merasa tidak mengambil atau merampas hak orang lain. “Ini tanah
nenek moyang kami, ini tanah kami, ini tempat tinggal kami, tidak
ada tempat lain selain wilayah ini untuk kami tinggali”, demikian
pengakuan warga yang penulis temui di Pulau Padang.
Tidak kurang bukti-bukti yang bisa mereka tunjukkan baik
makam, bangunan tua, dan pohon-pohon kelapa yang tingginya
lebih dari 30 meter bisa ditemui di Pulau Padang. Jika berkunjung
ke Pulau Padang, maka pernyataan Pulau Padang tidak berpenghuni