Page 200 - Mereka yang Dikalahkan, Perampasan Tanah dan Resistensi Masyarakat Pulau Padang
P. 200
Mereka yang Dikalahkan 175
menanam dan kami menyelamatkan hutan dari kerusakan yang
lebih parah dari para pelaku illegal logging dari masyarakat dan yang
dilakukan oleh pihak-pihak lain. Kami resmi berizin, kami membayar
pemasukan untuk negara. Itulah mimpi negara yang berkelindan
dengan korporasi, bermimpi menyelenggarakan pembangunan
berkelanjutan, menyediakan peluang-peluang kerja bagi warganya.
Ya, mimpi yang mencabut akar dan kultur para petani yang berkuasa
dan berdaulat atas lahannya.
Setelah melakukan banyak kesepakatan dan negosiasi, RAPP
membuka diri untuk warga yang mau bekerja dengannya, termasuk
kerjasama-kerjasama dalam pemanfaatan fasilitas transportasi
sungai milik warga. Perusahaan bersedia menyewa speedboad
warga untuk mengangkut bibit, perusahaan lewat dana CSR-nya
mau membantu warga dalam mengembangkan pertanian. Pilihan
negosiasi dan kerjasama sudah menjadi kesepakatan, sehingga jika
di antara teman-teman yang mau bekerja di perusahaan, tidak boleh
ada yang menghalangi.
Salah satu poin dalam negosiasi antara warga Pulau Padang
dengan RAPP yang juga diketahui oleh Pemda Meranti adalah
kesepakan persoalan area konsesi. Jika dalam area konsesi sesuai SK
180/2013 terdapat lahan milik masyarakat, maka ada tiga skenario
yang harus diambil: Pertama, Enclave. Tanah warga yang masuk
dalam area konsesi akan di enclave, atau dikeluarkan dari area konsesi
RAPP. Atas tanah itu warga berhak mengelola tanah mereka tanpa
gangguan pihak perusahaan. Kedua, Sagu hati. Bahasa yang muncul
dalam kesepakatan memang sagu hati, bukan ganti rugi. Kata ini
muncul jika tanah warga masuk dalam area konsesi dan bersedia
menyerahkan kepada RAPP, maka akan diberi sagu hati dengan
harga 150 rupiah per meter. Ketiga, Dikerjasamakan. Tanah warga
yang masuk area bisa dikerjasamakan dengan pihak RAPP, yakni
tanah digunakan RAPP untuk tanaman industri dan akan mendapat