Page 27 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 27
xxvi Orang Indonesia dan Tanahnya
yang terus menerus dianut, dipelihara, dan menjadi kebiasaan
praktek kelembagaan pemerintah pasca kolonial merupakan
sumber ketidakadilan agraria yang kronis. Membaca buku Orang
Indonesia dan Tanahnya akan merupakan suatu pertemuan
yang bermakna, bila ia tidak hanya dilandasi oleh sikap mental
sebagai arkeolog yang berusaha menemukan artefak-artefak
yang merupakan sedimen dari hidup masa lampau. Membaca
Orang Indonesia dan Tanahnya akan membawa pembaca pada
pergulatan pemikiran mengenai politik agraria di masa lalu agar
dapat menjadi referensi tentang bagaimana konsep-konsep
dan kategori-kategori yang digunakan saat itu dapat memberi
inspirasi untuk memahami secara lebih baik kemelut-kemelut
di masa kini.
Pengantar ini akan ditutup dengan menunjukkan satu
tonggak penting politik hukum agraria saat ini yang meralat
pasal-pasal dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan mengenai
status hutan adat dan cara pengakuan masyarakat hukum
adat. Pada tanggal 16 Mei 2013, diumumkan oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia suatu Putusan atas perkara
nomor 35/PUU-X/2012, berkenaan dengan gugatan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua anggotanya,
yakni kesatuan masyarakat hukum adat Kenegerian Kuntu, dan
kesatuan masyarakat hukum adat Kasepuhan Cisitu. Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa selama ini Undang-undang No.
41/1999 tentang kehutanan (yang melanjutkan Undang-undang
No 5/1967 tentang Kehutanan) telah salah secara konstitusional
memasukkan status hutan adat ke dalam kategori hutan negara.
Status hutan yang dibagi berdasar milik ini, dan memasukan
kepunyaan rakyat sebagai bagian dari milik Negara, jelas
merupakan warisan dari pernyataan domein.
Dengan memasukkan hutan adat ke dalam kategori
hutan negara, masyarakat hukum adat telah didiskriminasi